SEKOLAH dari rumah (homeschooling) merupakan bentuk sekolah alternatif di mana ketidakpuasan terhadap metode belajar kelas formal menjadi salah satu alasan berkembangnya metode belajar ini. Alasan lain adalah penyesuaian terhadap kebutuhan anak didik, mulai disabilitas, karier, pekerjaan, maupun kebutuhan lainnya (pada kasus tertentu ada peserta didik yang merupakan korban bullying di sekolah sebelumnya).
Dengan metode belajar yang lebih kecil grupnya, sebenarnya homeshooling memiliki potensi capaian akademik yang memadai karena intensif dan monitoring yang ketat dari fasilitator belajar.
Kekhawatirannya, homeshooling bisa semakin melebarkan jarak antara peserta didik dengan lingkungan — yang sebenarnya merupakan capain lain dari tujuan pendidikan.
Kekhawatiran tersebut muncul lantaran pada pelaksanaan proses belajar peserta didik menjadi peserta tunggal. Peserta didik belajar di rumahnya sendiri sehingga seolah-olah memiliki jarak sosial, terutama karena kurangnya pergaulan dengan teman sebaya. Ini bertolak belakang dengan sekolah formal yang sejauh ini berhasil menjadi ruang bagi terjadinya interaksi sosial antarpeserta didik.
Namun saat ini sudah banyak pelaksana homeschooling yang sangat memperhatikan aspek pendidikan kognitif sekaligus sosial. Salah satunya adalah Kreativa Homesholing.
Saya adalah salah satu orang yang cukup intens mendengarkan dan menjadi teman diskusi bagi para pendiri lembaga ini. Baik ketika masih rintisan — yang wujudnya waktu itu masih “sekadar” tempat les — maupun saat ini yang telah secara gagah menyematkan identitas homeschooling di aktivitas mereka.
Berdiri tahun 2018, lembaga ini awalnya berkembang di kampung kecil di Wlingi sebagai sebuah tempat les. Kini, Kreativa Homeschooling merupakan lembaga resmi pelaksana pendidikan yang diakui pemerintah dan telah menjalankan kegiatan di beberapa tempat di Blitar dan Tulungagung. Ratusan tutor dan peserta didik pun telah bergabung di sana.
Capaian tersebut tak lepas dari peran penting Muslikah S.Sos. Sarjana FISIP lulusan Universitas Jember inilah peniup nafas sekolah rumah ini, dari ide awal sampai sekarang menjadi pelaksana sekolah rumah yang menjadi rujukan di wilayah Blitar Raya.
Bermula dari keprihatinannya terhadap banyak sarjana muda di bidang pendidikan yang saat itu belum bekerja, Muslikah kemudian terinspirasi membuat kegiatan yang sesuai minat dan menghasilkan pendapatan.
Selain Muslikah, Kreativa Homeschooling digawangi oleh Dian Oktaviana SPd MSc sebagai Direktur PKBM dan Qoniatul Latifah SPd sebagai Direktur PT Kreativa.
Situasi saat pandemi Covid-19 tahun 2020 turut menjadi pendorong kuat bagi mereka untuk mengembangkan homeschooling. Saat itu, metode belajar offline di sekolah digantikan dengan dengan metode daring (belajar secara online) dari rumah.
Perubahan ini membuat banyak anak tidak bisa mengakses pelajaran dengan baik dari sekolah formal karena ketiadaan akses internet dan HP. Beberapa sekolah khusus, misalnya sekolah khusus sepakbola Malang, bahkan menutup kegiatan belajar mereka.
Tiadanya tempat belajar bagi siswa-siswa yang “dirumahkan” ini menjadi pendorong kuat bagi Kreativa untuk mengembangkan homeschooling.
Muslikah menceritakan, uji coba sekolah rumah ini pada awalnya hanya diikuti 4 orang. Namun seiring waktu jumlahnya bertambah karena semakin banyak peminat.
Hal itu, menurut Muslikah, terjadi karena kurikulum sekolah umum formal pada dasarnya tidak mampu mewadahi semua kebutuhan anak. Kurikulum sekolah umum merupakan kurikulum normal yang bisa diakses oleh anak-anak yang normal. Sedangkan anak kuantitaif IQ-nya di bawah 100 dan di atas 120 akan memiliki kesulitan menyesuaikannya.
Anak yang lebih pintar pun, menurut Muslikah, berpotensi menggangu teman belajarnya karena berbagai tugas yang sudah bisa diselesaikan lebih dulu dibandingkan teman-temannya.
Tantangan yang terberat, menurut Muslikah, adalah bagaimana mengedukasi orang tua bahwa sekolah rumah berbeda dengan les privat, tetapi merupakan sekolah setara sekolah formal yang peserta didiknya mendapatkan ijazah dan bahkan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tantangan yang tak kalah berat, lanjut Muslikah, adalah memberikan pemahaman mengenai beban tanggung jawab pendidikan kepada orang tua. Sebab, biasanya untuk urusan pendidikan, orang tua “melemparkan” tanggung jawab itu keluar, yaitu pada lembaga yang disebut sekolah.
Sekolah rumah akan mengubah kebiasaan pola pendidikan di masyarakat secara radikal, mendasar. Siswa yang umumnya menghabiskan 8 jam berlajar di sekolah formal, diubah hanya berada dalam jam belajar tidak lebih dari 3 jam sehari. Itu pun dilaksanakan di rumahnya masing masing.
Orang tua adalah kunci bagi kesuksesan dalam pelaksanaan sekolah rumah. Minat, bakat, dan kemauan anak akan ditentukan oleh seberapa kuat komunikasi dan interaksi orang tua dan anak di rumahnya masing masing.
Sekolah rumah seperti Kreativa Homeschooling berfungsi sebagai fasilitator dalam mendapatkan informasi dan perkembangan yang bersifat dari luar rumah. (*)
Tentang Penulis:
- Farhan Mahfuzhi adalah anggota Dewan Redaksi BlitarRaya.com