Kamis, 31 Juli 2025 | 14:16 WIB
29.6 C
Blitar

Marak Rojali-Rohana di Pusat Perbelanjaan: Siapa Pemenang, Siapa Pecundang?

-- advertisement --spot_img
-- advertisement --spot_img

BlitarRaya.com  Rojali dan Rohana menjadi istilah yang kini marak diperbincangkan publik, baik di media sosial, liputan berita, maupun diskusi sehari-hari. 

Rojali, singkatan dari “rombongan jarang beli”, digunakan untuk menggambarkan kondisi mal yang ramai pengunjung tapi sepi transaksi. Sedangkan Rohana, kependekan dari “rombongan hanya nanya”, merujuk pada kebiasaan konsumen yang datang ke toko fisik cuma untuk melihat, mencoba, atau membandingkan produk, lalu membelinya secara online.

Rojali dan Rohana bukan sekadar istilah, tapi telah pula menjadi gambaran baru konsumen Indonesia. Apakah ini indikasi turunnya daya beli masyarakat dan gambaran nyata pergeseran fundamental dalam perilaku konsumen di era digital?

Kunjungan Meningkat, Transaksi Sepi

Data terbaru dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan bahwa kunjungan ke pusat perbelanjaan di Indonesia tahun ini meningkat, meski hanya 10% dibanding tahun lalu.

Namun, Alphonsus Widjaja, Ketua Umum APPBI, secara lugas menyatakan bahwa peningkatan kunjungan ini tidak serta-merta diiringi oleh peningkatan volume transaksi pembelian barang. 

Alphonsus menilai fenomena ini muncul lantaran daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, sedang menurun. “Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap (butuh) datang ke pusat perbelanjaan,” 

Karena itu, lanjut Alphonsus, volume belanja tetap minim karena mayoritas masyarakat datang hanya untuk rekreasi, bersosialisasi, makan, melihat-lihat, bersosialisasi, atau berbelanja dalam jumlah kecil.

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, menyebut fenomena ini belum tentu menggambarkan kemiskinan, tetapi layak dicermati. “Ini relevan juga sebagai gejala sosial dan juga bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan,” ujar Ateng di Jakarta, Jumat (25 Juli 2025).

Ateng juga menyoroti hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang menunjukkan kelompok masyarakat 20% teratas atau terkaya justru mulai menahan konsumsi.

Daya Beli dan Perilaku Baru

Selain ditengarai karena menurunnya daya beli, maraknya Rojali dan Rohana di pusat-pusat perbelanjaan disebut tak terlepas dari adanya pergeseran perilaku konsumen di tengah menjamurnya e-commerce. Mereka datang ke pusat perbelanjaan fisik hanya untuk “riset” lalu melakukan transaksi melalui toko online yang dirasa lebih nyaman dan harga yang seringkali lebih murah.

Tak aneh jika kemudian Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa fungsi mal telah mengalami pergeseran. 

Menurut Airlangga, mal kini lebih menjadi destinasi gaya hidup dan kuliner ketimbang pusat belanja murni. Konsumen datang untuk menikmati suasana, bersantap, atau mencari hiburan. 

Pemenang dan Pecundang

Terlepas dari akar penyebabnya, merajalelanya Rojali dan Rohana menciptakan lanskap baru dalam ekosistem ritel dengan pemenang (yang diuntungkan) dan pecundang (yang merugi).

Yang termasuk pemenang antara lain:

  • Pusat perbelanjaan
    Secara keseluruhan, pusat perbelanjaan adalah pemenang. Penjualan barang memang lesu, tapi keramaian tetap ada sehingga menguntungkan penyewa di sektor kuliner, hiburan (bioskop, area bermain), dan jasa. 
  • Pengelola mal
    Mereka juga bisa untung dari pendapatan parkir dan penyewaan event space. Banyak mal kini berinvestasi pada pengalaman non-belanja untuk menarik pengunjung. 
  • Sektor kuliner dan hiburan
    Restoran, kafe, bioskop, dan wahana bermain di dalam mal menjadi magnet utama. Mereka menikmati lonjakan pengunjung yang mencari pengalaman bersantap dan rekreasi.
  • E-commerce
    Mereka adalah pemenang sejati dari Rohana. Setelah konsumen melakukan “riset” di toko fisik, mereka beralih ke platform online untuk menyelesaikan transaksi. 
  • Penyedia logistik dan jasa pengiriman
    Lonjakan transaksi online secara otomatis menguntungkan sektor ini, yang menjadi tulang punggung rantai pasok e-commerce.

Yang termasuk pecundang antara lain:

  • Penyewa toko ritel tradisional
    Mereka adalah pihak yang paling terpukul. Biaya operasional tinggi (sewa, gaji karyawan, stok) tidak sebanding dengan minimnya penjualan. Banyak merek ritel non-makanan dan minuman melaporkan penurunan penjualan yang signifikan, dan beberapa di antaranya bahkan terpaksa menutup gerai fisik atau mengurangi skala operasional mereka di sepanjang tahun 2024 dan awal 2025.
  • Pekerja sektor ritel fisik
    Dampak domino dari penurunan penjualan berpotensi mengarah pada pengurangan jam kerja, efisiensi karyawan, bahkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini.
  • Pemerintah (dari PPN ritel fisik)
    Meskipun ada potensi kompensasi dari transaksi e-commerce, penurunan volume penjualan di ritel fisik dapat menurunkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dari sektor ini. (mr)

Jangan Lewatkan

-- advertisement --spot_img
spot_img