SENIN (13/5/2024) dini hari atau pukul 00.00 WIB, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blitar secara resmi menutup proses penyerahan syarat dukungan bakal calon perseorangan bupati dan wakil bupati Blitar untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebelumnya, KPU Kabupaten Blitar telah memberi kesempatan kepada bakal calon perseorangan untuk menyerahkan persyaratan dalam jangka waktu lima hari sejak tanggal 8-12 Mei 2024.
Selama waktu tersebut hingga tanggal 12 Mei 2024 pukul 23.59 WIB tidak ada satu pun bakal calon perseorangan yang melakukan konsultasi maupun yang mengajukan permohonan akun sistem informasi pencalonan (Silon). Ini artinya pada gelaran Pilkada 2024, Kabupaten Blitar dipastikan nihil calon bupati dan wakil bupati yang maju melalui jalur perseorangan atau calon independen.
Jika menengok ke belakang, sejarah pencalonan kepala daerah melalui jalur independen dibolehkan sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 5/PUU-V/2007. Dengan adanya putusan ini maka mekanisme pencalonan kepala daerah tidak lagi hanya melalui jalur partai politik tetapi juga bisa dilakukan oleh perseorangan yang telah memenuhi persyaratan.
Syarat Terlalu Berat
Awalnya putusan MK tersebut dinilai memberikan angin segar bagi masyarakat untuk mencalonkan diri ataupun memilih calon yang berasal bukan dari partai politik. Citra partai politik yang kurang baik di mata masyarakat juga menambah semangat masyarakat untuk mencalonkan diri dan memilih calon independen.
Namun, semakin ke sini harapan masyarakat tersebut ternyata tidak mudah diwujudkan. Sejak 2007 sampai sekarang, keberadaan calon yang maju lewat jalur independen terus menurun jumlahnya. Banyak yang mengatakan, berkurangnya calon independen disebabkan bukan karena tidak adanya minat untuk maju, tetapi karena alasan beratnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon independen. Selain itu, tentu juga ada pertimbangan lain kenapa calon independen tidak dijadikan alternatif pencalonan.
Persyaratan pencalonan yang maju melalui partai politik (parpol) dan independen memang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai regulasi pelaksanaan Pilkada di Indonesia saat ini, misalnya, pada Pasal 40 Ayat (1) untuk calon dari parpol harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol dengan perolehan kursi DPRD pada pemilu sebelumnya paling sedikit 20 persen atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah.
Sedangkan persyaratan untuk calon independen sebagaimana diatur pada Pasal 41 adalah harus mengumpulkan dukungan dari penduduk yang telah menjadi pemilih dan tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu terakhir. Persentase besaran jumlah dukungan yang dikumpulkan tergantung jumlah penduduk yang menjadi pemilih dan tercantum dalam DPT pemilu terakhir.
Khusus untuk pilkada kabupaten/kota jika DPT sampai 250 ribu butuh 10%, DPT 250 ribu-500 ribu butuh 8,5%, DPT 500 ribu-1 juta butuh 7,5%, dan DPT lebih dari 1 juta butuh 6,5%. Jumlah dukungan ini juga harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Pemenuhan syarat dukungan sebagaimana diatur dalam undang-undang pilkada tersebut dalam praktiknya sangat memberatkan bagi masyarakat yang akan maju lewat jalur independen. Jumlah dukungan yang harus dikumpulkan dinilai terlalu besar sementara batas waktu penyerahan dukungan ke KPU sangat mepet. Di Pilkada 2024 ini KPU hanya memberi batas waktu lima hari untuk penyerahan dukungan.
Di Kabupaten Blitar, syarat minimal dukungan bagi calon independen sebesar 71.766 dukungan yang tersebar di 12 kecamatan. Jumlah tersebut merupakan 7,5% dari jumlah DPT Kabupaten Blitar pada Pemilu 2024 sebesar 956.873. Tentunya bukan hal yang mudah untuk mengumpulkan dukungan sebesar itu. Bisa jadi hanya tokoh yang telah memiliki basis massa yang mengakar kuat dan memiliki sumber dana cukup yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.
Berkaca pada pelaksanaan pilkada di Kabupaten Blitar sejak kepala daerah dipilih langsung pada tahun 2005, Kabupaten Blitar telah melaksanakan pilkada langsung sebanyak empat kali yakni tahun 2005, 2010, 2015, dan 2020. Dari empat kali pilkada langsung tersebut tidak pernah ada calon yang maju lewat jalur independen. Pada Pilkada 2020 sebenarnya sempat akan ada calon independen yakni pasangan Sunyoto dan Suparwahdi, namun mereka tidak dapat memenuhi persyaratan.
Selain faktor persyaratan yang berat sebagaimana diuraikan di atas, menurunnya animo calon independen juga karena pertimbangan beratnya pertarungan dalam pilkada dan pasca-pilkada bagi calon independen. Pilkada seperti juga pemilu adalah kontestasi perebutan kekuasaan yang membutuhkan strategi pemenangan di mana konsekuensinya memerlukan sumber daya dan sumber dana yang sangat banyak.
Calon yang diusung oleh parpol setidaknya lebih diuntungkan dalam pertarungan ini karena mereka sudah biasa mengorganisasi diri dan memiliki orang-orang sampai ke pelosok desa yang bisa digunakan sebagai mesin pendulang suara.
Sedangkan bagi calon independen, mereka harus mengondisikan itu jauh-jauh hari untuk menjadi tim pemenangan yang efektif. Perlu sumber daya dan wabilkhusus sumber dana yang besar karena semua tahu tradisi politik masyarakat kita hari ini sedang “musim” tradisi politik transaksional. Minimal, motivasi mereka mau menjadi tim sukses adalah karena ada faktor imbalan atau alasan profesional bekerja.
Pertimbangan selanjutnya bagi calon independen adalah pertimbangan pasca-pilkada jikalau mereka diputuskan sebagai pemenang pilkada. Antisipasi terhadap kemungkinan yang terjadi pasca-menang pilkada ini juga sangat penting. Mereka tidak memiliki anggota di DPRD, sehingga semua kebijakannya sangat mudah digoyang oleh parlemen. Oleh karena itu, kepala daerah dari jalur independen yang memenangkan pilkada harus memiliki strategi ekstrakhusus dalam menjalankan pemerintahannya.
Dengan pelbagai permasalahan yang dihadapi oleh calon independen tersebut, sudah seharusnya pembuat kebijakan memikirkan kembali untuk merevisi aturan yang ada. Tujuannya tidak lain untuk memberikan kemudahan atau kesetaraan bagi semua calon yang akan mengikuti kontestasi pilkada, baik dari jalur parpol maupun jalur independen.
Sebetulnya bukan sesuatu yang sulit untuk mengubah aturan selama ada political will dari para pembuat aturan. Terkecuali jika selama ini calon perseorangan/independen memang selalu diposisikan sebagai “bayi yang tidak diharapkan kelahirannya” dalam kancah kontestasi pilkada di Indonesia. (*)
Tentang Penulis:
- Arif Syarwani adalah Peneliti Lingkar Studi Demokrasi dan Kebijakan (eLSIDAK), Mantan Anggota Bawaslu Kabupaten Blitar periode 2018-2023.
Pantau di sini: Dinamika Pilkada Blitar Raya 2024
Pilkada Serentak 27 November 2024