BlitarRaya.com – Pejabat Fungsional Umum Pelayanan Haji dan Umroh Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Blitar, Khayatul Mahki, meminta jemaah haji yang akan diikutsertakan dalam skema murur untuk yakin bahwa ibadah hajinya tetap sah asalkan semua rukun hajinya dijalankan.
“Insyaallah hajinya tetap sah, karena mabit di Muzdalifah bukan rukun haji. Selain itu, jemaah yang melakukan murur tidak akan dikenai denda atau dam,” kata Mahki ketika dihubungi BlitarRaya.com melalui ponsel pribadinya, Senin (10 Juni 2024) siang.
Muzdalifah adalah daerah terbuka antara Makkah dan Mina, tempat jemaah haji diperintahkan singgah dan mabit (bermalam) setelah wuquf di Arafah.
Sebanyak 55 ribu jemaah haji Indonesia akan diikutkan dalam skema murur pada musim haji tahun ini. Dengan skema ini, jemaah haji yang melakukan perjalanan dari Arafah tidak perlu turun dari kendaraan (bus) saat tiba di Muzdalifah sehingga bisa segera menuju Mina.
Skema murur diprioritaskan bagi jemaah penyandang disabilitas, lanjut usia (lansia), berisiko tinggi (risti) secara medis, dan para pendampingnya.
Jemaah haji Kabupaten Blitar yang masuk kategori tersebut, kata Mahki, saat ini sedang didata. Untuk itu, pihaknya berkoordinasi dengan ketua kloter, para pembimbing ibadah, dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU).
“Mereka akan diminta hanya murur atau berdiam diri saat di Muzdalifah, jadi tidak turun, sehingga bisa bablas ke Mina,” imbuhnya.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa hal ini bisa membuat ibadah haji tidak sah, mengingat mabit (bermalam) di Muzdalifah termasuk dalam wajib haji.
“Salah satu wajib haji memang mabit di Muzdalifah. Jika tidak dikerjakan, jemaah harus membayar dam atau denda,” terang Mahki.
Namun, lanjut Mahki, dam tidak berlaku bagi jemaah haji yang melakukan murur. Sebab, mereka termasuk golongan yang mendapatkan rukhsah atau keringanan hukum.
“Karena keutamaan haji adalah melakukan ibadah dengan selamat. Sedangkan ketika jemaah lansia atau jemaah risiko tinggi melakukan mabit di Muzdalifah, banyak mudharat-nya dan akan mengancam keselamatan jiwa mereka,” terangnya.
Selain itu, lanjut Mahki, harus diingat bahwa wajib haji tidak memiliki dampak langsung pada keabsahan haji manakala tidak dijalankan. Berbeda halnya dengan rukun haji yang jika ditinggalkan akan menyebabkan ibadah haji tidak sah.
Mahki mengakui ada kemungkinan hal tersebut kurang dipahami. Karena itu, para pembimbing haji, ketua kloter atau kiai kloter diminta menyosialisasikannya kepada para jemaah.
Kiai kloter juga diminta meyakinkan bahwa selain taat kepada Allah dan Rasul, jemaah harus taat pula kepada pemimpin (pemerintah).
“Harus manut pada pemerintah. Sebab, pemerintah dalam mengambil kebijakan tidak sak karepe dhewe, tetapi dengan pertimbangan matang, termasuk meminta masukan dari para ulama. Insyaallah sah hajinya jika nurut pemerintah,” tegasnya. (mr)
- Simak di sini: Liputan Khusus Haji 2024