KANIGORO, BlitarRaya.com – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Blitar akan menandai lokasi rumah anak umur di bawah lima tahun (balita) menyusul tingginya angka stunting berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) terbaru yang dirilis akhir Mei lalu.
Kepala Dinkes Kabupaten Blitar Christine Indrawati mengatakan, berdasarkan rilis tersebut, lebih dari 5 ribu atau 20,3 persen anak umur di bawah lima tahun (balita) di Kabupaten mengalami stunting. Angka ini lebih tinggi 6 persen dibanding tahun sebelumnya yang berada di kisaran 14,3 persen.
“Penandaan lokasi balita stunting merupakan bagian dari mapping yang kami lakukan menyikapi rilis SKI tersebut,” kata Christine kepada BlitarRaya.com saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (18 Juni 2024).
Mapping (pemetaan) lokasi balita stunting dilakukan Dinkes Kabupaten Blitar bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan beranggotakan perempuan.
“Kami bekerja sama dengan organisasi perempuan yang punya banyak anggota, misalnya Fatayat NU dan Aisyiyah. Mereka kami gandeng untuk membantu melakukan penandaan pada rumah-rumah balita,” ujarnya.
Penandaan tersebut, tutur Christine, dilakukan dengan bantuan aplikasi yang dipasang pada perangkat telepon seluler. “Karena itu, kerja sama ini terutama kami lakukan dengan mereka yang melek teknologi, dan pelatihannya sedang kami lakukan,” jelasnya.
Selain mapping lokasi, lanjut Christine, pihaknya juga melakukan mapping penyebab stunting. Hasilnya, ditemukan tiga penyebab stunting pada balita di Kabupaten Blitar.
Penyebab pertama, penyakit. “Terutama penyakit bawaan, misalnya lahir dengan kelainan jantung, bibir sumbing, dan lain-lain. Bisa juga karena tertular TBC,” ungkap Christine.
Penyebab kedua, kesalahan pola asuh. Contohnya, karena makanan yang diberikan ibu kepada balita kurang lengkap gizinya.
“Ada ibu yang berprinsip sing penting anake wareg, meneng. Itu termasuk pola asuh yang kurang tepat dan bisa membuat balita stunting,” kata Christine.
Penyebab ketiga yang ditemukan Dinkes Kabupaten Blitar adalah kurangnya akses gizi. “Maksudnya, keluarga tidak mampu membeli makanan bergizi. Boleh dibilang karena kemiskinan,” jelas Christine.
Mapping penyebab stunting tersebut kemudian dijadikan pedoman dalam menanganinya.
“Kami melakukan intervensi berbeda berdasarkan penyebabnya. Misalnya, yang stunting karena penyakit TBC, kami tangani dengan pengobatan dan pemulihan gizi,” terangnya.
Untuk stunting yang disebabkan penyakit, kata Christine, pihaknya bisa menanganinya langsung. Sedangkan stunting yang disebabkan kesalahan pola asuh dan rendahnya akses gizi ditangani bersama dengan sejumlah organisasi pemerintah daerah (OPD) lain. (mr)