JAKARTA, BlitarRaya.com – Demonstrasi menolak pengesahan revisi UU Pilkada berlangsung di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia, hari ini, Kamis (22 Agustus 2024). Massa terdiri dari berbagai kalangan masyarakat, mulai akademisi (termasuk guru besar), aktivis, buruh, mahasiswa, hingga selebriti.
Mereka menilai revisi UU Pilkada tersebut sebagai pembangkangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diterbitkan pada Selasa (20 Agustus 2024) lalu.
Beragam ekspresi muncul sebagai bentuk protes atas pembangkangan tersebut. Di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, demonstran membentangkan spanduk besar dan poster bertuliskan “Baleg DPR Pembangkang Konstitusi”.
Ada juga yang bertuliskan “Indonesia Darurat Demokrasi, Matinya Demokrasi Indonesia”, “Tolak Pilkada Akal-akalan Penguasa, Kawal Putusan MK”, “Demokrasi di Titik Nadir” dan ”#Save MK Jangan Begal Konstitusi”.
Para akademisi dan aktivis 1998 dalam aksi ini juga berteriak lantang mengucapkan “Selamatkan konstitusi”, “Selamatkan demokrasi”, dan “Turunkan Jokowi”.
Beberapa tokoh berorasi dalam kesempatan tersebut. Mereka adalah Romo Franz Magnis Suseno (Guru Besar Filsafat STF Driyarkara); Valina Singka Subekti (Guru Besar FISIP UI), dan Saiful Mujani (Pendiri SMRC).
Sementara itu, di depan Gedung DPR RI, massa membentangkan beberapa poster yang menyiratkan adanya cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam hal ini.
Poster-poster tersebut antara lain bertuliskan “DPR BUDAK J*K*WI (disensor karena mengandung kekerasan)”, “Dinasti Jokowi: Keluarga Berencana Menghancurkan Bangsa”, dan “DPR milik rakyat, bukan milik Jokowi”.
Beberapa komika terkenal tampak bergabung dalam barisan para demonstran, bahkan turut berorasi di atas mobil komando. Mereka adalah Bintang Emon, Arie Keriting, Mamat Alkatiri, dan Abdur Arsyad.
Aksi serupa terjadi di beberapa kota lain, misalnya di Bandung, Semarang, Yogyakarta.
Dampak UU Pilkada Hasil Revisi
UU Pilkada hasil revisi rencananya disahkan DPR dalam rapat paripurna hari ini, Kamis (22 Agustus 2024). Namun agenda itu dibatalkan. Alasannya, kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, karena rapat tidak memenuhi kuorum.
Jika disahkan, UU Pilkada hasil revisi akan mengubah implementasi dari Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan ambang batas (threshold) baru pencalonan kepala daerah adalah 6,5-10 persen, lebih rendah dibanding ambang batas sebelumnya, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilihan legislatif (pileg).
Hal ini membuka peluang lebih banyak partai, termasuk yang tidak punya kursi di DPRD, untuk mengusung calon sendiri.
Namun peluang ini ditutup lagi oleh UU Pilkada hasil revisi. Sebab, ambang batas baru dinyatakan hanya berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, sedangkan partai yang memiliki kursi di DPRD harus mengikuti ambang batas lama.
Bagaimana dampak UU Pilkada hasil revisi terhadap Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024?
Putusan ini menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus dipenuhi saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Jika revisi UU Pilkada disahkan, syarat usia calon dihitung saat pelantikan calon terpilih seperti yang tercantum dalam keputusan Mahkamah Agung (MA).
Upaya merevisi UU Pilkada ini dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan inkonstitusional karena menabrak putusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat. (mr)