SANANWETAN, BlitarRaya.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Blitar menilai kegiatan sound horeg sebagai kegiatan yang hukumnya haram dari sudut pandang Agama Islam.
Penilaian MUI Kabupaten Blitar, sound horeg lebih banyak membawa kerugian dan keburukan bagi masyarakat dibandingkan manfaatnya.
Karena itu, MUI Kabupaten Blitar mengajak kepada seluruh elemen masyarakat Kabupaten Blitar untuk berembug mencari solusi atas maraknya kegiatan sound horeg di masyarakat.
Juru Bicara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Blitar, Jamil Mashadi, mengatakan bahwa kegiatan “sound horeg” lebih banyak merugikan masyarakat (mudharat) daripada manfaat yang diberikan.
“Karena itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah, untuk mencari solusi bagaimana agar dampak buruk sound horeg dapat diminimalisir,” ujar Jamil kepada awak media, Senin (7 Juli 2025).
“Kalau pandangan kami kegiatan sound horeg ini jelas haram karena lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya,” imbuhnya.
Sound horeg, kata Jamil, adalah kegiatan menyerupai karnaval menggunakan sound system berukuran besar yang diangkut menggunakan truk serta dilengkapi dengan perangkat pencahayaan dan penari-penari yang memeragakan tarian “pargoy” dan erotis.
“Kami menyebutnya sebagai diskotik jalanan. Iya kan? Suara musik yang menggelegar melebihi batas kewajaran. Lighting dan penari. Persis suasana diskotik, tapi dilakukan di jalanan,” tuturnya.
Dengan dipertontonkan secara terbuka, ujarnya, maka pertunjukan sound horeg dapat dilihat oleh warga dari semua kelompok usia termasuk anak-anak.
Dengan demikian, lanjutnya, maraknya pertunjukan sound horeg yang sering tampil di jalan-jalan desa akan berdampak negatif pada perkembangan kesadaran anak-anak.
Jamil mengatakan bahwa pihaknya juga menyoroti maraknya konsumsi minuman keras di kalangan penari sound horeg hingga banyak kalangan dari penonton.
Dari sisi biaya, kata Jamil, warga desa harus mengeluarkan dana yang cukup besar mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah untuk menyewa satu set sound horeg.
“Dana yang dikeluarkan untuk menyewa sound horeg itu satu RT atau pun satu dusun bisa Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Kalau ada 21 RT kan bisa habis miliaran rupiah setiap kali menyelenggarakan sound horeg,” tuturnya.
Selain banyak menghabiskan dana masyarakat, kata dia, tidak jarang dimensi sound sytem yang digunakan mendorong warga merelakan pembongkaran gapura desa hanya untuk tujuan truk pengangkut sound horeg dapat masuk ke jalan desa.
Jamil tidak memungkiri adanya manfaat ekonomi mencapai miliaran rupiah dalam setiap kegiatan sound horeg namun dibandingkan dengan dampak buruknya masih belum sebanding.
Ia juga menyadari adanya akar kesenian tradisional seperti “tayub” yang menampilkan penari-penari diikuti dengan aksi menyawer uang.
Namun, kata dia, kesenian tayub tidak dipertontonkan sedemikan terbuka seperti sound horeg.
“Tayub juga tidak menggunakan sound system dengan suara yang melebihi kewajaran. Karena itu, kami pun masih bisa maklum jika kegiatan seperti itu mengedepankan tradisi, adat ketimuran,” tuturnya. (Asip Hasani/asp)