Rabu, 20 Agustus 2025 | 06:24 WIB
24.9 C
Blitar

Saat Hukum dan Politik Berpelukan: Risiko Amnesti Hasto Kristiyanto dan Abolisi Tom Lembong

WIB

BlitarRaya.com Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengakhiri “drama hukum” Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong melalui pemberian amnesti dan abolisi pada 1 Agustus 2025 tak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga memicu perdebatan sengit. 

Di satu sisi, pemerintah dan para pendukungnya memuji langkah ini sebagai manuver politik yang cerdas. Mereka bilang, ini “jalan rekonsiliasi” yang krusial untuk menciptakan stabilitas pasca-pemilu.

Namun, di sisi lain, keputusan ini mencuatkan pertanyaan mendasar: apakah stabilitas politik harus dibayar dengan mengorbankan integritas hukum dan semangat pemberantasan korupsi?

Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, yang divonis bersalah dalam kasus suap Harun Masiku, dan abolisi kepada Tom Lembong, yang terjerat kasus korupsi impor gula, bukanlah sekadar keputusan hukum biasa. Ini adalah keputusan politik dengan konsekuensi hukum yang sangat besar. Amnesti menghapus hukuman Hasto, sedangkan abolisi bahkan menganggap kasus Tom Lembong seolah tidak pernah ada. Terlebih, tindakan ini dilakukan secara kilat dan mengabaikan proses hukum yang sedang berjalan.

Melunakkan Oposisi

Pemberian amnesti dan abolisi ini dipandang sebagai langkah rekonsiliasi politik karena posisi sentral keduanya dalam kubu oposisi pada masa kampanye Pilpres 2024.

Hasto Kristiyanto, sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), adalah figur paling berpengaruh dan motor utama kubu oposisi. Posisinya bukan hanya sebagai politikus, melainkan otak di balik strategi partai dan juru bicara yang kerap menyampaikan kritik tajam. Kasusnya yang terkait dengan suap Harun Masiku memiliki nuansa politik yang kental dan penahanannya sering kali ditafsirkan sebagai bentuk “politisasi hukum.”

Dengan mengakhiri kasusnya, Presiden mengirim sinyal kuat kepada PDI-P bahwa ia ingin merangkul mereka atau setidaknya menetralkan kekuatan oposisi.

Sementara itu, Tom Lembong adalah tokoh yang menonjol di kalangan intelektual dan bisnis, dan berperan penting sebagai juru bicara yang vokal di tim kampanye pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Ia menjadi “wajah” dari narasi ekonomi kubu oposisi, terutama dalam isu hilirisasi dan investasi. Kasus korupsi impor gula yang menjeratnya pun tak lepas dari dugaan politisasi hukum. 

Karena itu, pemberian abolisi kepadanya bisa ditafsirkan sebagai upaya mengakhiri konflik dengan faksi-faksi politik yang pernah berseberangan, membuka jalan untuk menarik dukungan dari para pendukung Anies-Muhaimin.

Sinyal Berbahaya dari Istana

Narasi “rekonsiliasi politik” memang terdengar mulia. Namun, ketika diterapkan pada kasus korupsi, narasi ini menjadi sinyal yang berbahaya. Keputusan ini berpotensi merusak dua pilar penting negara: independensi peradilan dan upaya antikorupsi.

Pertama, independensi peradilan. Keputusan pengampunan ini secara efektif mengesampingkan putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Alih-alih membiarkan proses hukum berjalan, termasuk banding, eksekutif justru mengambil alih dengan hak prerogatif. Ini seolah mengirim pesan bahwa putusan pengadilan dapat dibatalkan melalui negosiasi politik, bukan melalui jalur hukum yang semestinya.

Kedua, upaya antikorupsi. Selama puluhan tahun, Indonesia berjuang keras membangun lembaga seperti KPK untuk membersihkan praktik korupsi yang mengakar. Amnesti dan abolisi untuk koruptor, meskipun dengan alasan politis, berisiko menormalisasi korupsi di kalangan elite. Ada kekhawatiran besar bahwa tindakan ini akan menciptakan preseden: korupsi bukanlah kejahatan yang patut ditakuti, melainkan risiko politik yang bisa diselesaikan dengan tawar-menawar di meja kekuasaan.

Indonesia di Persimpangan Jalan

Para kritikus seperti Dr. Trisno Raharjo dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bahkan menyebutkan bahwa amnesti untuk Hasto akan menghambat proses penegakan hukum lebih lanjut, termasuk pencarian Harun Masiku yang tak kunjung selesai. Demikian pula abolisi untuk Tom Lembong, meskipun tim pembelanya berargumen tidak ada mens rea atau niat jahat, intervensi eksekutif ini tetap mengancam kredibilitas peradilan. 

Pertanyaan muncul: jika pengadilan dinilai cacat, bukankah seharusnya ada reformasi peradilan, bukan intervensi dari eksekutif?

Keputusan Presiden ini menempatkan Indonesia pada persimpangan jalan. Di satu sisi, kita dihadapkan pada janji stabilitas dan persatuan politik. Namun, di sisi lain, kita harus menghadapi risiko melemahnya supremasi hukum dan semangat antikorupsi. Pertanyaannya bukan lagi apakah keputusan ini sah secara konstitusional, melainkan apakah keputusan ini bijaksana bagi masa depan Indonesia.

Ketika hukum dan politik berpelukan terlalu erat, bukankah keadilan yang sering menjadi korban? (mr)

Opini sebelumnya

Terbaru di BlitarRaya.com