BlitarRaya.com – Menjelang penayangannya di bioskop, film animasi Merah Putih: One For All menuai kritikan tajam di media sosial. Bukan semata waktu pengerjaan yang terlalu singkat, tapi juga tentang soal kualitas yang tak sebanding dengan mahalnya biaya produksi.
Film produksi Perfiki Kreasindo ini disutradarai oleh Endiarto dan Bintang dengan Toto Soegriwo sebagai produser.
Dalam unggahan di akun Instagram-nya, Toto menyebut Merah Putih: One For All diproduksi dalam waktu kurang dari satu bulan untuk mengejar momen peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.
Waktu produksi yang singkat ini memicu komentar warganet tentang kualitasnya. Banyak dari mereka menilai kualitas animasi Merah Putih: One For All jauh di bawah standar, bagai “langit dan bumi”.
Beberapa warganet bahkan menyebutnya mirip game jaman dulu (jadul) atau proyek tugas anak sekolah yang baru belajar animasi. Ini karena, berdasarkan trailer yang sudah dirilis, tampak animasi dalam film ini terasa kaku dan minim detail.
Warganet juga menyoroti biaya produksi Merah Putih: One For All yang mencapai Rp6,7 miliar. Menurut mereka, angka tersebut terlalu besar.
Sorotan itu muncul karena beredar spekulasi bahwa beberapa aset visual, seperti karakter dan latar jalanan, tidak dibuat oleh kreator animasi tetapi dibeli dari toko digital dengan biaya hanya belasan dolar. YouTuber Yono Jambul menduga aset-aset itu dibeli dari toko digital seperti Daz3D.
Mahalnya biaya produksi film ini mendorong warganet membandingkannya dengan anime One Piece atau Demon Slayer yang tiap yang episodenya hanya butuh biaya sekitar Rp1,8 miliar tapi menghasilkan kualitas yang lebih tinggi.
Menanggapi kritikan-kritikan tersebut, produser film Merah Putih: One For All, Toto Soegriwo, melalui akun Instagram-nya mengatakan, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?”
Sinopsis dan Pesan Moral
Film ini berkisah tentang petualangan sekelompok anak yang tergabung dalam “Tim Merah Putih”. Anak-anak dari berbagai latar belakang budaya di Indonesia itu mendapat tugas kembali bendera pusaka yang hilang tiga hari menjelang perayaan Hari Kemerdekaan.
Misi tersebut bertujuan menonjolkan semangat gotong-royong, persatuan, dan nasionalisme. Pesan utamanya: perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mengibarkan Sang Merah Putih.
Film ini akan tayang di banyak bioskop, termasuk CGV dan Cinema XXI, mulai 14 Agustus 2025. Menarik ditunggu bagaimana pendapat publik setelah film ini benar-benar tayang di layar lebar. Apakah kritikan yang muncul sebelum tayang akan meredam minat penonton atau justru semakin memicu perdebatan? (mr)