BlitarRaya.com – Fenomena sound horeg yang tak terbendung, memantik musisi Noe Letto memasukkan tinju dalam analisisnya. Mengapa?
Lebih dari sekadar sistem audio yang menggelegar, “sound horeg” telah memicu polemik sosial, ekonomi, bahkan estetika.
Dari sudut pandang estetika, Noe mengajukan dua titik yang perlu dicermati. “Dari sudut pandang seni, sepemahaman saya ada dua arah orang punya inklinasi senang ke estetik yang mana,” ujarnya dalam tayangan di kanal YouTube Sabrang MDP Official yang disaksikan BlitarRaya.com pada Selasa (19 Agustus 2025).
Dua arah tersebut, lanjut Noe, adalah aesthetic of elegance atau kecintaan pada keanggunan yang serba seimbang dan aesthetic of excess atau daya tarik pada “estetika kelebihan” yang mencari sensasi ekstrem.
Menurut anak pertama budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ini, kesukaan orang pada sound horeg berada di titik kedua atau aesthetic of excess.
Lalu, mengapa sound horeg bisa populer dan bertahan hingga kini? Noe menyebut daya tarik “estetika kelebihan” saja tidak cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, “perang kelantangan” atau loudness war yang pernah melanda industri musik global pun, nyatanya, saat ini telah berhenti.
Musisi bernama lengkap Sabrang Mowo Damar Panuluh (MDP) ini Noe mengungkap bahwa saat “perang kelantangan” masih terjadi, karya musik yang terdengar lebih keras (meskipun sedikit), dianggap lebih bagus, terlepas dari apa isinya.
Itulah sebabnya para produser berlomba-lomba membuat musik mereka terdengar paling keras agar menonjol. Mereka menggunakan compressor untuk keperluan itu. “Hampir semua (produser musik) sedunia tahu trik itu,” kata Noe.
Loudness war, lanjut Noe, kemudian berakhir karena platform streaming menormalisasi volume. Lombanya bukan lagi beradu keras, tapi kembali ke keindahan. “Dan itu sesuai dengan dunia musik,” ujarnya.
Namun, sound horeg kini bukan lagi hanya tentang hiburan, hobi, atau estetika. Ia juga telah bertransformasi menjadi penggerak ekonomi. Di banyak daerah, saat sound horeg beraksi, banyak pihak merasakan dampak positifnya, misalnya para pemilik rental sound system, teknisi, dan pedagang makanan/minuman di sekitar lokasi acara.
“Inilah bibit dari ekosistem tersebut. Nah, kemudian, karena banyak yang ikut ‘makan’ di situ, ada alasan dia untuk hidup, karena banyak yang menghidupi, karena banyak yang butuh hidup dari situ,” papar Noe.
Noe melihat ekosistem itu akan mendorong terciptanya inovasi-inovasi, penemuan baru, mesin ekonomi, dan lain-lain. Sayangnya, ekosistem yang berpusat pada sound itu lebih mengarah pada kompetisi adu keras suara tanpa ada rule of the game (aturan main).
Lau, apa hubungannya dengan tinju?
Menurut Noe, tiadanya aturan main yang disepakati bersama membuat pelaku sound horeg melakukan segala cara dilakukan demi menjadi yang paling keras.
Ini berbeda dengan tinju. Meskipun tinju adalah olahraga yang keras, ia memiliki aturan ketat: dilarang memukul area tertentu (misalnya di bawah sabuk). Jika larangan itu tidak ada, tinju tidak akan menjadi industri yang menyenangkan karena akan fokus pada bagaimana melindungi area terlarang tersebut, bukan pada adu kuat atau adu teknik.
Dengan aturan ketat itu, game menjadi fair sehingga orang yang terlibat dalam kompetisi tinju semakin pintar dan terjadilah inovasi-inovasi yang terarah.
Sound horeg, kata Noe, memerlukan aturan seperti itu. Bukan untuk menghambat, tapi agar inovasinya bermanfaat bagi masyarakat. (mr)