Selasa, 9 September 2025 | 03:57 WIB
27.6 C
Blitar

Anggota Fraksi PDIP Dituduh Telantarkan Anak, Pimpinan DPRD Blitar: Biar Partai yang Menghukum

-- advertisement --spot_img
-- advertisement --spot_img

KANIGORO, BlitarRaya.com – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar, Jawa Timur, M Rifai, mengatakan bahwa pimpinan DPRD tidak akan memutuskan ada tidaknya pelanggaran etik dalam kasus dugaan penelantaran anak oleh seorang anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Begini lho. Itu (dugaan penelantaran anak) tidak bisa kita jadikan patokan. Etika itu yang menghukum partainya. Bukan pimpinan dewan,” ujar Rifai saat dikonfirmasi melalui telepon, Senin (8/9/2025).

Hal itu disampaikan Rifai terkait laporan ke Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Blitar oleh seorang perempuan bernama inisial RD (30) yang mengaku sebagai istri siri seorang anggota Fraksi PDIP bernama inisial S. RD melaporkan S telah menelantarkan anak perempuan yang kini berusia 2,5 tahun hasil hubungannya dengan anggota dewan itu.

Namun, lanjut Rifai, jika pihak pelapor tetap menuntut adanya unsur pelanggaran etika dalam kasus tersebut, pimpinan akan memberikan teguran tertulis kepada terlapor disertai permintaan untuk bertanggung jawab terhadap anak yang disebut telah ditelantarkan.

“Itu kan di luar ranah dia sebagai anggota dewan to sakjane (sebenarnya). Konsekuensi (surat teguran) ya diopeni (dinafkahi) lah kalau jadi anaknya. Karena ini di luar ranah dia sebagai dewan,” kata Rifai.

Baca juga:

Selain memberikan teguran tertulis kepada terlapor, lanjutnya, pimpinan DPRD juga akan meneruskan surat rekomendasi dari BK ke Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Blitar dimana terlapor merupakan kadernya.

“Laporan (juga) kita teruskan ke pimpinan DPC PDIP. Persoalan dinaikkan ke atas atau tidak itu bukan ranahnya dewan,” ujarnya.

Kata Rifai, pihaknya tidak dapat menyelenggarakan rapat paripurna untuk menentukan apakah terlapor melakukan pelanggaran etik atau tidak.

“Kalau saya tata beracara di dewan, rapat paripurna itu adanya justru untuk memulihkan nama baik seorang anggota dewan,” ujarnya.

Lebih jauh, Rifai menilai bahwa materi yang dilaporkan oleh RD tentang penelantaran anak bersifat subyektif. Begitu juga dengan argumen yang mungkin disampaikan oleh terlapor.

“Unsur-unsur itu semuanya subyektivitas, kecuali (terlapor) menyalahi tatib (tata tertib) tidak hadir enam kali rapat paripurna berturut turut, misalnya. Itu bisa diberi peringatan pertama dan seterusnya,” kilahnya.

Menurut Rifai, sebenarnya pelapor, RD, awalnya hanya menuntut pertanggungjawaban terlapor atas nafkah dan masa depan anak hasil hubungan mereka.

Bahkan, Rifai mengaku mendengar bahwa telah ada penyelesaian masalah tanggung jawab terlapor terhadap pelapor dan anaknya di luar forum BK DPRD Kabupaten Blitar.

“Ini sudah bisa diselesaikan di luar ranah BK. Katanya begitu. Tapi BK juga gak mau tahu selesainya dibayari piro,” ujarnya.

Namun, pernyataan Rifai tersebut dibantah oleh RD yang menyebut tidak ada kesepakatan apa pun dalam mediasi yang digelar BK.

“Mediasi terakhir beberapa waktu lalu tidak ada kesepakatan apa pun. Tidak ada perdamaian,” kata RD melalui pesan tertulis, Senin sore.

RD juga menampik adanya penyelesaian di luar mediasi BK sebagaimana disampaikan Rifai.

Sebelumnya, penasehat hukum RD, Khoirul Anam, menilai aneh jika BK DPRD Kabupaten Blitar sebagai penjaga etik segenap anggota dewan memutuskan tidak ada pelanggaran etika dalam kasus dugaan penelantaran anak tersebut.

Dalam satu wawancara dengan awak media pertengahan Juli 2025 lalu, RD mengaku memutuskan untuk melapor ke BK DPRD Kabupaten Blitar untuk meminta tanggung jawab sang anggota dewan terhadap anak yang ia lahirkan hasil hubungannya dengan terlapor.

RD, warga Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar yang mengaku menikah secara siri dengan sang anggota dewan pada awal 2022 telah beberapa kali tidak menerima nafkah dari suaminya.

Ia mengaku bahwa terlapor pernah tidak memberikan nafkah hingga 9 bulan berturut-turut.

“Saya maunya (komitmen) tanggung jawab nafkah itu dibuat tertulis dan memiliki kekuatan hukum. Nafkah dan biaya sekolah anak hingga perguruan tinggi lah. Saya tidak mau harus ngemis ngemis lagi ke bapaknya anak,” tuturnya.

Selain tanggung jawab nafkah dan biaya pendidikan kelak, RD juga menuntut agar nama sang anggota dewan tercantum pada akta kelahiran anak sebagai ayah biologisnya. (Tim/asp)

Jangan Lewatkan

-- advertisement --spot_img
spot_img