BlitarRaya.com – Sejumlah pengamat dan ahli mendesak Pemerintah menghentikan sementara serta mengevaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berlangsung selama lebih dari 8 bulan.
Terutama karena kejadian keracunan yang menimpa siswa penerima manfaat MBG terus terjadi, desakan itu juga dilatari oleh kekhawatiran bahwa program ambisius Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto itu akan menggerus anggaran bidang infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut alokasi anggaran MBG akan naik hampir lima kali lipat dari sekitar Rp 71 triliun di 2025 menjadi Rp 335 triliun di 2026 dengan jumlah penerima manfaat menjadi 82,9 juta orang.
“Insyaallah tahun depan kita akan mulai dari Januari dengan 82,9 juta (penerima manfaat) dan Badan Gizi Nasional akan spending Rp 1,2 triliun per hari,” kata Dadan di Kanto Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (9 September 2025), dilansir dari Kompas.com.
Korban keracunan MBG 5.626 anak
Berdasarkan monitoring yang dilakukan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), tercatat sedikitnya 5.626 kasus keracunan makanan program MBG yang terjadi di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi sejak MBG diluncurkan 6 januari hingga 19 September 2025 lalu.
Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, mengatakan bahwa angka kasus keracunan akibat MBG tersebut ibarat fenomena puncak gunung es. Angka sebenarnya bisa jauh lebih besar karena belum ada dasbor pelaporan yang transparan.
Apalagi di beberapa daerah, Kabupaten Blora dan Kabupaten Sleman, beredar foto perjanjian antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan siswa penerima manfaat dengan klausul yang mewajibkan penerima manfaat merahasiakan informasi jika terjadi kasus keracunan.
Menurut Diah, pangkal persoalan MBG adalah ambisi target cakupan 82,9 juta penerima manfaat di akhir 2025.
“Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” ujarnya, Minggu (21 September 2025).
Baca juga:
- Transfer Pusat ke Daerah Bertambah Rp 43 Triliun di RAPBN 2026, Total Rp 693 Triliun
- Kronologi Korupsi Pengadaan Chromebook yang Seret Nadiem dan 4 Lainnya Jadi Tersangka
- KPK Sebut Dana Korupsi Kuota Haji 2024 Mengalir hingga ke Pucuk Pimpinan Kemenag, Begini Duduk Perkaranya
Walau sudah 8 bulan berjalan, program MBG yang terpusat itu belum dilandasi Perpres sebagai payung hukum dan peraturan lainnya. Dampaknya, kata Diah, tata kelola kelembagaan tidak jelas, mulai dari koordinasi antar kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerjasama yang melibatkan banyak pihak.
Penghentian sementara secara menyeluruh, ujarnya, krusial untuk efektivitas evaluasi yang juga menyeluruh. “Klaim penyempurnaan dan perbaikansambil jalan terbukti gagal dengan terus berulang dan bertambahnya kasus keracunan,” kata dia.
Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra. KPAI mendesak penghentian sementara program MBG dan pentingnya evaluasi.
“Satu saja kasus anak yang mengalami keracunan bagi KPAI sudah cukup banyak,” ujarnya.
KPAI juga meyakini ada sejumlah unsur dalam pelaksanaan program MBG yang tidak terkendali sehingga kasus keracunan terus terjadi.
“Mungkin kita tidak terlalu tahu, apa yang terjadi di dalam. Tetapi dari jumlah korban, data, dan peristiwa kita tahu ada yang tidak terkontrol,” tandasnya.
Gerus anggaran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Tansportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan bahwa program MBG dapat mengorbankan anggaran layanan publik bidang infrasruktur, dan keselamatan transportasi.
Padahal kualitas layanan angkutan umum di satu wilayah berkaitan erat dengan isu kemiskinan. Daerah miskin sering merupakan daerah terisolasi dengan akses transportasi yang rendah.
“Sejatinya, angkutan umum harus dipandang sebagai alat menjangkau dan memberdayakan kaum kurang beruntung,” ujar Djoko, Senin (8 September 2025).
Djoko merujuk pada studi di Provinsi Jawa Tengah dimana kualias angkutan umum yang buruk berkaitan dengan angka putus sekolah. Selanjutnya, angka putus sekolah mendorong naiknya pernikahan dini yang akhirnya bermuara pada kenaikan angka gizi buruk.
Sementara itu, Kepala Pusat Ekonomi dan UMKM pada Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Izzudin Al Farras, mengatakan bahwa anggaran riil MBG bisa jauh lebih besar dari angka resmi yang sebesar Rp 335 triliun pada R-APBN 2026.
Menurutnya, MBG menyedot anggaran pendidikan di 2026 sebesar 44,2 persen di tengah persoalan dunia pendidikan yang masih belum terpecahkan, yakni masalah peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan infrastruktur sekolah hingga penguatan kualitas pembelajaran.
Di sektor kesehatan, ujarnya, ternyata ada alokasi tambahan Rp 24,7 triliun untuk MBG bagi ibu hamil, menyusui, dan balita dengan target 7,4 juta orang. Angka tersebut sekitar 10,1 persen dari total anggaran kesehatan untuk tahun 2026.
“Padahal kalau kita cek, di anggaran MBG ini dengan 82,9 juta penerima manfaat itu sebenarnya sudah mencakup ibu hamil dan anak bayi juga. Lantas, kenapa ada anggaran makan bergizi pula di porsi anggaran kesehatan?”ungkapnya.
Selain itu, kata Izzudin, MBG juga mendapat dukungan dari pos anggaran lain, yakni sektor pembangunan desa, koperasi, dan UMKM dengan pos anggaran untuk pemberdayaan pelaku usaha pendukung program MBG.
Jika keseluruhan alokasi anggaran untuk MBG dijumlahkan, Izzudin memperkirakan total anggaran MBG mencapai 10 persen atau lebih dari APBN 2026.
“Jangan sampai juga angka korbannya melonjak seperti lonjakan anggarannya juga,“ ujarnya.
Dalam R-APBN 2026, MBG menjadi program utama dengan alokasi anggara Rp 335 triliun, bersanding dengan alokasi anggaran ketahanan pangan Rp 164,4 triliun, ketahanan energi Rp 402,4 triliun, pertahanan dan keamanan Rp 425 triliun, pendidikan Rp 575,9 triliun dan kesehatan 244 triliun. (Tim Redaksi)