Jumat, 19 Desember 2025 | 04:51 WIB
26.1 C
Blitar

Ungkap Siasat Mafia Tanah di Balik Mandeknya Reforma Agraria Kabupaten Blitar, AMPERA: Rakyat Sengaja Dibuat Lelah

-- advertisement --spot_img
-- advertisement --spot_img

KANIGORO, BlitarRaya.com – Ratusan petani yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pendukung Reforma Agraria (AMPERA) membongkar dugaan praktik culas jejaring mafia tanah yang menghambat distribusi lahan di Kabupaten Blitar, terutama di Perkebunan Kruwuk dan Perkebunan Karangnongko.

Dugaan itu mereka ungkap dalam rangkaian unjuk rasa yang berlangsung di kantor Kejaksaan Negeri, kantor ATR/BPN, dan di Kantor Bupati Blitar, Kamis (18 Desember 2025). 

Mereka menilai ketidakpastian prosedur yang berlarut-larut telah menciptakan celah hukum yang menguntungkan kelompok mafia tanah dan menghambat proses redistribusi ratusan hektare lahan kepada petani di Perkebunan Kruwuk dan Karangnongko.

Karena itu, dalam pernyataan sikapnya, AMPERA mendesak Bupati Blitar Rijanto dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Blitar segera memproses tuntutan redistribusi lahan perkebunan kepada petani penggarap.

Koordinator aksi, Muhammad Erdin Subchan, menegaskan bahwa konflik di Perkebunan Kruwuk dan Karangnongko yang telah berlarut selama sepuluh tahun bukanlah akibat kendala teknis semata. Ia mencium adanya kolaborasi gelap antara mafia tanah dengan oknum di berbagai instansi untuk menciptakan ketidakpastian prosedur.

“Rakyat memang sengaja dibuat lelah oleh pelambatan proses, ketidakpastian prosedur, dan ketertutupan informasi penanganan. Strategi ini digunakan oleh mafia tanah yang berjejaring dengan oknum instansi agar petani menyerah mendapatkan hak atas lahan yang diredistribusikan,” tegas Subchan dalam orasinya.

Aktivis senior reforma agraria, Mohammad Trijanto, menambahkan bahwa jaringan mafia ini tidak hanya bermain di sektor perkebunan, tetapi juga merambah ke sektor kehutanan dan program perhutanan sosial. Saat menggelar aksi di Kejaksaan Negeri Blitar, ia mendesak jaksa untuk masuk dan memutus mata rantai kolusi yang selama ini membentengi kepentingan perusahaan besar.

“Mafia tanah, mafia hukum, dan mafia hutan merupakan musuh nyata rakyat. Kami menuntut penegakan hukum terhadap mereka yang telah menyandera hak-hak rakyat dalam reforma agraria,” ujar Trijanto.

Menanggapi tudingan tersebut, Bupati Blitar Rijanto menyatakan bahwa hambatan utama berasal dari konflik horizontal di tengah masyarakat. Menurutnya, ada “pihak luar” yang menyusup dan memicu perpecahan antar-kelompok warga, sehingga proses administrasi terganggu.

“Karena di lapangan itu sulit diadakan komunikasi antar-kelompok sehingga berkepanjangan. Kalau nanti sudah clear (bersatu), kita proses melalui tim GTRA untuk kita usulkan ke Kementerian ATR-BPN,” kilah Rijanto.

Akar Konflik dan Celah bagi Mafia

Konflik agraria yang disuarakan AMPERA berpusat pada dua perkebunan besar yang masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU)-nya telah menjadi polemik menahun. 

Pertama, Perkebunan Kruwuk di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, yang dikelola oleh PT Perkebunan Rotorejo Kruwuk. Petani penggarap menuntut redistribusi atas ratusan hektare lahan yang dinilai secara regulasi sudah memenuhi syarat untuk dibagikan kepada rakyat, namun prosesnya terus terhambat di tingkat birokrasi daerah.

Kedua, Perkebunan Karangnongko di Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, yang dikelola oleh PT Veteran Sri Dewi. Sengketa di lokasi ini melibatkan ratusan kepala keluarga yang telah lama menggarap lahan tersebut. Masyarakat menuntut penciutan lahan HGU atau pengalihan status lahan menjadi objek reforma agraria. 

Kondisi “menggantung” yang dialami petani di kedua lokasi tersebut, menurut AMPERA merupakan “lahan basah” bagi mafia tanah. 

Sebagian lahan di Karangnongko memang telah diredistribusikan pada 2022, tapi masih terdapat ratusan hektare lahan sisa yang tidak kunjung bersertifikat. Sedangkan di Kruwuk, meskipun kesepakatan formal tercapai pada Oktober 2025, ketiadaan eksekusi fisik di lapangan memperkuat kecurigaan bahwa ada upaya membiarkan status lahan tetap sengketa. 

AMPERA menilai ketidakpastian ini menjadi celah bagi mafia untuk terus mengeksploitasi hasil perkebunan secara ilegal atau mengupayakan perpanjangan HGU di balik punggung rakyat yang telah berjuang selama lebih dari satu dekade. (tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Jangan Lewatkan

-- advertisement --spot_img
- Advertisement -spot_img