Rabu, 9 Juli 2025 | 04:11 WIB
23.3 C
Blitar

Sound Horeg Tanggapi Fatwa Haram MUI: Lebih Banyak Manfaat dari pada Mudharat-nya

-- advertisement --spot_img
-- advertisement --spot_img
spot_img

Kepanjenkidul, BlitarRaya.com – Kalangan pengusaha sound horeg menyatakan keberatan dengan fatwa haram yang disuarakan oleh sejumlah ulama dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Blitar dan MUI Jatim.

Saiful Aziz (54 tahun), pemilik dan pengusaha group sound horeg bernama ‘Faskho Sengok’ dari Desa Papungan, Kanigoro, menyatakan keberatan dengan fatwa tersebut dengan alasan bahwa penilaian haram tersebut tidak didasarkan pada kajian utuh terhadap fenomena sound horeg.

“Memang ada beberapa elemen dalam karnaval sound horeg yang mungkin dinilai negatif atau mudharat, dan tidak memberi manfaat. Tapi ada banyak sisi positif lain yang kurang dilihat dan dipertimbangkan. Terutama aspek perputaran ekonomi masyarakat yang sangat besar di setiap penyelenggaraan karnaval sound horeg,” ujar Saiful Aziz, pada BlitarRaya.com, ketika ditemui di gudang sound horeg-nya, Selasa (8 Juli 2025).

Menurut Aziz, dalam setiap penyelenggaraan karnaval sound horeg terdapat perputaran uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, bahkan untuk event di tingkat desa. “Bayangkan, pada di setiap karnaval ada lebih 30 group sound horeg yang turut ambil bagian. Bisa diperkirakan berapa omset yang beredar,” ujar Aziz.

Aziz juga memberi ilustrasi, rentetan peristiwa ekonomi di tiap event. Di tiap penyelenggaraan kegiatan karnaval sound horeg, jelas Aziz, terdapat ratusan pedagang kecil yang menjual beragam jenis makanan dan minuman yang mendapatkan rezeki dari kegiatan itu.

“Pada banyak karnaval sound horeg, kami bahkan sering mengalami kesulitan mendapatkan air mineral dan makanan karena banyak pedagang yang dagangannya habis terjual,” tutur Aziz.

Pernyataan Aziz ini, untuk menanggapi fatwa MUI Kabupaten Blitar dan MUI Jatim yang sebelumnya telah menyatakan karnaval sound horeg dalam pandangan hukum Agama Islam adalah haram karena lebih banyak memberikan dampak buruk dibandingkan manfaat positifnya.

Karnaval sound horeg yang banyak menjamur di berbagai desa-desa di Jawa Timur itu, menurut pandangan MUI Jatim tidak membawa manfaat.

“Saya ambil contoh paling nyata. Itu ketika event sound horeg battle di Banyuwangi. Itu kami sampai kehausan, kelaparan, karena barang dagangan banyak yang ludes habis terjual. Terrutama di hari kedua. Karena penonton banyak. Itu kan aktivitas ekonomi,” ujar Aziz.

Di karnaval sound horeg, kata Aziz, perputaran uang sangat besar karena tidak pernah sepi penonton. Ribuan penonton memenuhi kanan dan kiri rute karnaval sepanjang 5-6 kilometer.

Menurut Aziz, biaya sewa satu perangkat sound system horeg, termasuk truk pengangkut dan perangkat lighting (pencahayaan), yang harus dikeluarkan oleh setiap peserta karnaval mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 55 juta per satu unit.

Meski biaya sewa cukup besar, menurut Aziz, pemerintah desa dan panitia penyelenggara mendapat pemasukan yang cukup besar dari ongkos parkir dan sewa tempat para pedagang.

“Untuk karnaval skala besar bahkan pendapatan kotor dari parkir kendaraan mencapai ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah. Belum pemasukan dari para pedagang,” ungkap Aziz.

Meski demikian, Saiful mengakui adanya sejumlah unsur dalam kegiatan karnaval sound horeg yang tidak luput dari penilaian negatif. Terutama keberadaan para penari yang menyertai hampir setiap unit sound horeg.

“Kalau saya setuju saja jika keberadaan penari ditiadakan. Tapi kan itu bukan dari kami sebagai penyedia sound, tapi dari peserta karnaval,” ujarnya. Peserta karnaval untuk event tingkat desa, kata Aziz, biasanya adalah kelompok warga perwakilan dari setiap RT dan RW.

Menurut Aziz , jika karnaval sound horeg diharamkan dan selanjutnya dilarang, maka akan menghilangkan lapangan kerja bagi ribuan orang yang selama ini bekerja di perusahaan sound system seperti Faskho Sengok miilknya.
Di perusahaannya saja ada 50 orang pekerja.

“Untuk Blitar saja, kalau kebijakan itu diterapkan, sudah ribuan orang yang akan kehilangan pekerjaan. Karena (sound horeg) paling banyak memang di Blitar,” tambah Saiful Aziz. (Asp, Hyu)

Jangan Lewatkan

-- advertisement --spot_img
spot_img