BlitarRaya.com – Kasus dugaan korupsi yang menjerat Immanuel Ebenezer (Noel) menjadi perhatian banyak pengamat, termasuk pakar manajemen Prof. Rhenald Kasali. Ia melihat kasus Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) ini sebagai contoh dari fenomena “dramaturgi” yang kerap dimainkan para pejabat dan figur publik.
“Noel, sudah banyak kita mendengarnya. Sudah banyak kejadian yang diungkap oleh media. Tapi kali ini, mari kita bahas dramaturgi yang digunakan oleh para selebritas politik, tokoh-tokoh masyarakat, sehingga kemudian mengecohkan kita,” ujarnya dalam video YouTube di akun resmi Rhenald Kasali, yang disimak BlitarRaya.com pada Senin (25 Agustus 2025).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Noel sebagai satu dari 11 tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan, Jumat (22 Agustus 2025).
Presiden Prabowo langsung memecat Noel dari jabatannya sebagai Wamenaker usai penetapan KPK itu, meski Noel sempat menyatakan harapannya agar Prabowo kelak memberinya amnesti (pengampunan).
Rhenald Kasali menyebut kasus ini telah membuka tabir di balik panggung politik yang memungkinkan publik menjadi penonton cerdas.
Panggung Depan vs. Realitas Belakang Layar
Rhenald menjelaskan bahwa figur publik sering kali berakting layaknya pemain teater, yang memiliki dua sisi kehidupan: panggung depan dan realitas di balik layar.
“Panggung depan adalah apa yang dipertontonkan oleh media, kamera di depan tokoh-tokoh itu. Tetapi, di belakang panggung, di situlah kita membaca perilaku sesungguhnya,” ujar Rhenald.
Kasus “Noel”, menurut Rhenald, merupakan contoh adanya dua panggung itu bagi figur publik. Di hadapan kamera, Noel digambarkan sebagai pejabat yang lantang dan berani membela kepentingan rakyat. Ia tak kenal takut menghadapi pebisnis. Bahkan ia terlihat marah-marah, menggebrak meja, atau berkonfrontasi dengan pebisnis.
Menurut Rhenald, gaya komunikasinya yang agresif dan aksinya yang spontan dirancang untuk menciptakan kesan bahwa ia adalah pembela sejati kaum pekerja. Ketika ini berhasil menarik perhatian dan simpati publik, citra yang sangat kuat akan terbangun.
Namun, lanjut Rhenald, realitas di balik layar ternyata berbeda. Penetapan Noel sebagai tersangka oleh KPK, membuka mata publik bahwa aksi heroik yang ditayangkan Noel hanyalah sebuah pertunjukan, dan aksi di panggung depan itu ternyata adalah alat untuk menutupi perilaku di balik layar yang sesungguhnya.
Pertunjukan Pemimpin Dunia
Rhenald mengatakan bahwa fenomena “dramaturgi” ini tidak terbatas pada kasus Noel. Banyak pemimpin dunia juga membangun citra mereka dengan cara ini dengan elemen unik masing-masing.
Berikut beberapa pemimpin dunia yang dimaksud Rhenald:
- Donald Trump
Presiden Amerika Serikat ini menggunakan elemen teatrikal yang khas. Pertama, topi merah ikonik bertuliskan “Make America Great Again”. Kedua, gestur tangan yang khas. Ketiga, retorika yang sinis namun memancing emosi. Seluruh elemen ini, menurut Rhenald, dirancang untuk menciptakan citra seorang pemimpin “anti-kemapanan” yang berani melawan sistem dan berbicara apa adanya. - Volodymyr Zelenskyy
Presiden Ukraina ini adalah mantan aktor yang memanfaatkan latar belakangnya untuk menciptakan persona seorang pemimpin yang sederhana tapi tangguh. Dalam konteks konflik dengan Rusia, ia sering memakai kaus hijau gaya militer. Rhenald menyebut penampilan ini sebagai simbol yang dirancang untuk menggambarkan Zelenksyy sebagai pemimpin yang berdiri bersama rakyat di garis depan. - Kim Jong Un
Pemimpin tertinggi Korea Utara ini memakai manajemen panggung yang ekstrem dan parade militer masif. Menurut Rhenald, hal ini untuk memproyeksikan citra kekuasaan absolut dan mengintimidasi negara tetangga. Ia selalu muncul di publik dengan pertunjukan kekuatan penuh perhitungan, dari ekspresi wajahnya yang dingin hingga barisan tentara yang rapi.
Panggung yang Kian Canggih
Ketika media sosial sangat berpengaruh seperti saat ini, panggung pertunjukan terlihat semakin canggih. Rhenald menyebut platform seperti Instagram, Twitter, dan YouTube memungkinkan figur publik memotong peran jurnalis tradisional dan mengendalikan narasi mereka sendiri secara langsung. Tak hanya pencahayaan atau sudut kamera yang bisa mereka atur, tapi juga judul yang menarik untuk memastikan citra mereka tersampaikan dengan sempurna kepada publik.
Rhenald mengingatkan bahwa publik tak seharusnya fokus pada pertunjukan semacam ini. Sebab, ini bisa mengalihkan dari perhatian terhadap tanggung jawab inti pemimpin, misalnya perencanaan strategis jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan tata kelola yang efektif.
Karena itu, Rhenald Kasali mengajak publik menjadi penonton cerdas, yang tidak mudah terpukau pada apa yang terlihat di permukaan, tetapi yang mampu melihat apa sesungguhnya di balik pertunjukan tersebut. Ini akan mendorong publik mengevaluasi pemimpinnya berdasarkan tindakan dan integritasnya, bukan dari drama yang dipertontonkan. (mr)