Selasa, 21 Oktober 2025 | 23:51 WIB
27.5 C
Blitar

Pekerja Migran Disebut Jadi “Sapi Perahan” dalam Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

-- advertisement --spot_img
-- advertisement --spot_img

BlitarRaya.com — Organisasi masyarakat sipil, Migrant Care, menilai kondisi pekerja migran Indonesia (PMI) makin merosot dan jauh dari akses keadilan dalam masa setahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

“Alih-alih memperkuat mandat konstitusi untuk melindungi seluruh warga negara, kebijakan pemerintah justru semakin menjadikan pekerja migran sebagai komoditas ekonomi dan mesin pencetak uang, bukan sebagai subjek pemegang hak asasi manusia,” tulis Migrant Care dalam laporan terbaru yang dirilis pada Senin (20 Oktober 2025).

Di bagian lain laporan itu, Migrant Care bahkan terang-terangan menyatakan, “Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menjadi kementerian penempatan yang membuat pekerja migran Indonesia menjadi sapi perahan.”

Menurut Migrant Care, kelemahan tata kelola migrasi, lemahnya diplomasi perlindungan, dan meningkatnya perdagangan orang, terutama melalui penyalahgunaan teknologi digital, menempatkan situasi PMI di titik paling mengkhawatirkan dalam satu dekade terakhir.

Kebijakan yang Dikritik

Migrant Care secara spesifik mengkritik sejumlah kebijakan dan kegagalan strategis pemerintah yang memperburuk kondisi PMI.

Pertama, komersialisasi migrasi dan target penempatan eksploitatif. Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) yang dibentuk pada pemerintahan ini dinilai bekerja dalam logika penempatan tenaga kerja untuk mengejar target remitansi, bukan perlindungan martabat warga negara.

Dalam hal ini, Migrant Care menyoroti target tinggi penempatan PMI hingga 425.000 orang per tahun. Pendekatan ini dinilai eksploitatif, dilakukan tanpa jaminan keselamatan, mengabaikan mekanisme pengawasan, pengendalian risiko negara tujuan, maupun skema perlindungan keluarga.

Selain itu, Migrant Care juga menyebut hingga kini tidak ada satu pun haluan kebijakan perlindungan yang berbasis data risiko, tidak ada audit negara tujuan, dan tidak ada kerangka keselamatan yang jelas bagi PMI.

Kedua, minimnya anggaran perlindungan. Migrant Care menilai anggaran yang dialokasikan menunjukkan bahwa perlindungan PMI bukan prioritas. Hal total anggaran KP2MI tahun 2026 sebesar Rp546 miliar, hanya Rp69 miliar atau 13% saja yang dialokasikan untuk perlindungan dan pemberdayaan PMI. Sisanya, sebanyak 87% anggaran justru habis untuk belanja pegawai, administrasi, dan operasional birokrasi, bukan untuk perlindungan nyata.

Ketiga, kelemahan diplomasi perlindungan. Menurut Migrant Care, pemerintah mengalahkan keselamatan warga negara demi kepentingan diplomasi bilateral, atau disebut sebagai “diplomasi ekonomi yang mengorbankan keselamatan warga negara.”

Hal tersebut terlihat, misalnya, dari kasus lima PMI oleh aparat keamanan Malaysia pada 24 Januari 2025 yang penyelesaiannya mandek, tidak transparan, dan tidak menunjukkan adanya langkah diplomasi tegas.

Sementara itu, kunjungan Presiden Prabowo ke Malaysia tiga hari setelah insiden penembakan tanpa membawa agenda diplomasi perlindungan yang jelas, menurut Migrant Care memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam membela martabat warganya.

Keempat, reformasi regulasi yang macet dan bermasalah. Tidak ada kemajuan legislasi signifikan untuk memperkuat perlindungan PMI dalam satu tahun terakhir:

  • Revisi UU TPPO: Revisi UU No. 21/2007 tentang TPPO tak kunjung dibahas serius, padahal UU tersebut tidak mampu menjawab TPPO yang terjadi melalui penyalahgunaan teknologi digital dan penipuan rekrutmen kerja lintas negara, termasuk hak restitusi korban.
  • Revisi UU PPMI: Revisi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) menunjukkan lemahnya komitmen. Draf yang beredar justru mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi membuka ruang liberalisasi penempatan tenaga kerja dan memperluas kewenangan swasta, alih-alih memperkuat pengawasan negara. Proses revisi juga dinilai tertutup dan minim partisipasi publik bermakna.

Kelima, kekosongan kelembagaan pemberantasan TPPO. Migrant Care menilai upaya pemberantasan TPPO jalan di tempat secara kelembagaan:

  • Masa berlaku Perpres yang menjadi dasar hukum Gugus Tugas TPPO Nasional telah habis, namun pemerintah tidak segera membentuk mekanisme baru yang kredibel dan efektif, menyebabkan kekosongan koordinasi kebijakan.
  • Tidak adanya Rencana Aksi Nasional (RAN) TPPO yang baru memperlihatkan bahwa agenda pemberantasan TPPO bukan prioritas. Gugus tugas di tingkat daerah pun dinilai hanya formalitas, bekerja tanpa anggaran khusus, data korban, atau layanan pemulihan berbasis hak.

Eskalasi Perdagangan Orang dan Kekerasan

Menurut Migrant Care, kegagalan kebijakan pemerintah telah berdampak langsung pada peningkatan kasus TPPO dan kematian PMI tanpa akuntabilitas.

Data Kemenlu mencatat 2.585 kasus perlindungan WNI pada paruh pertama 2025, dengan lebih dari 75% terjerat TPPO di sektor penipuan kerja online di Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina. Korban mayoritas adalah anak muda (17–30 tahun) yang direkrut melalui iklan palsu, menegaskan Indonesia kini menjadi basis rekrutmen jaringan kriminal digital Asia Tenggara.

Sementara itu, dalam hal kematian PMI tanpa akuntabilitas tercatat 87 PMI asal NTT meninggal di luar negeri antara Januari-Agustus 2025 di sektor berisiko tinggi. Negara gagal memastikan hak keselamatan, dan banyak jenazah pulang tanpa kejelasan tanggung jawab majikan maupun negara penempatan.

Menyikapi hal-hal tersebut, Migrant Care mendesak pemerintah untuk mengambil langkah darurat, termasuk menghentikan komersialisasi migrasi; membongkar mafia migrasi dan TPPO digital; merevisi segera UU TPPO dan UU PPMI; mengesahkan Perpres dan RAN TPPO yang baru; memperkuat diplomasi perlindungan; dan memastikan akses keadilan dan pemulihan bagi penyintas. (mr)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Jangan Lewatkan

-- advertisement --spot_img
- Advertisement -spot_img