BlitarRaya.com – Menghijaukan kembali hutan memang tidak mudah, apalagi jika itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Banyak hambatannya, terutama karena alasan tekanan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam skema perhutanan sosial, misalnya, petani enggan memenuhi kewajiban menanam tanaman keras di area hutan yang mereka garap, sekalipun tanaman itu termasuk tanaman produktif, misalnya tanaman buah-buahan.
Mereka lebih memilih menanam yang cepat dipanen, mulai sayur-sayuran hingga tebu, dan mengabaikan tanaman keras.
Namun hal itu sepertinya tidak berlaku di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Di sana terdapat 485 hektar hutan gundul yang siap dikelola dengan skema perhutanan sosial.
Ratusan keluarga petani telah mulai menghijaukan area hutan di lereng Gunung Kelud itu dengan menanam ribuan tanaman keras. Bukan sembarang tanaman keras, memang, melainkan tanaman keras yang dalam “jangka waktu menengah” juga memberikan manfaat ekonomi, seperti bambu, kakao, sukun, kopi, dan lainnya. Di sela-sela tanaman itu, mereka tanam sayuran, singkong, dan tanaman cepat panen lainnya.
Kini, dari 485 hektar lahan hutan di ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut itu, sekitar 85 hektar di antaranya telah menghijau dengan tanaman keras yang produktif.
“Sebagian sudah mulai panen, sebagian lainnya mungkin mulai tahun depan,” ujar Arif Samroni, salah satu tokoh sentral yang mendampingi warga Desa Karangrejo, dalam satu perbincangan dengan BlitarRaya.com, Selasa (4 Juni 2024).
Menurut Arif, dengan konsep agroforestri dalam memanfaatkan kawasan hutan yang telah berlangsung di Desa Karangrejo, kini 288 keluarga penggarap telah keluar dari status ekonomi “pra sejahtera” dan naik ke status “keluarga sejahtera I”.
Penyuluh agama berwawasan lingkungan
Warga Karangrejo melihat sosok Arif bukan hanya sebagai aktivis konservasi hutan yang selama ini memandu mereka bagaimana memetik manfaat ekonomi dari kawasan hutan namun pada saat yang sama melakukan upaya pemulihan ekosistem kawasan hutan dengan penghijauan. Mereka juga melihat pria 52 tahun itu sebagai seorang ulama yang memiliki otoritas khusus di ranah agama.
Sosok Arif memang kompleks. Dia tercatat sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Blitar yang bertugas sebagai penyuluh agama, salah satu dari 177 penyuluh Agama Islam di Kabupaten Blitar. Warga Kecamatan Kademangan itu juga seorang petani kakao yang kini dipercaya sebagai Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia.
Namun, otoritas keagamaan yang Arif pegang sepertinya menjadi salah satu faktor kunci keberhasilannya membantu warga Desa Karangrejo untuk memiliki pemahaman dan kesadaran pada pentingnya mendapatkan manfaat ekonomi dari hutan tanpa merusaknya.
“Ada peringatan di Al Quran surat Ar Rum ayat 41, bahwa ‘sesungguhnya alam di sekitar kita banyak yang rusak karena ulah manusia.’ Jadi Allah menyukai perbuatan baik berupa konservasi alam, lingkungan. Kerusakan alam dilarang Allah,” tutur Arif.
Arif sendiri meyakini bahwa pendekatan yang ia gunakan telah memberikan warga Desa Karangrejo pijakan spritualitas keagamaan untuk mengambil sikap aktif melakukan kegiatan ekonomi tanpa meninggalkan upaya konservasi hutan.
“Toh, kegiatan pertanian dan perkebunan di area itu juga selama ini sudah dapat dipetik hasilnya dari tanaman cepat panen. Dan kini mereka tahu mulai ada hasil dari tanaman keras yang lebih jangka panjang berkontribusi pada konservasi alam hutan,” terangnya.
Kesadaran warga, kata Arif, juga tercermin pada kesediaan mereka berperan aktif dalam upaya menghijaukan area sekitar sumber mata air Embung Talang Abang yang berada tidak jauh dari kawasan hutan yang mereka kelola.
Selain menjaga pohon-pohon tua yang tersisa di sekitar embung, beberapa tahun lalu warga dan kelompok sadar wisata menanam pohon aren di sekeliling embung sehingga surutnya air di embung tidak terjadi lagi di setiap musim kemarau.
Embung Talang Abang, kata Arif, tidak hanya memasok air bagi aktivitas pertanian warga namun juga telah menjadi sumber air PDAM untuk dipasok ke pelanggan di Kecamatan Garum dan Kecamatan Nglegok.
“Kalau kita perhatikan dalam pengajaran fiqih, sedekah yang utama itu sedekah air,” ujarnya.
Arif memang tidak bergerak sendiri. Tahun 2017 Arif bergabung dengan Yayasan Konservasi Lingkar Wilis dan Lingkar Kawi yang juga turut memandu warga Desa Karangrejo. Namun pendekatan keagamaan yang dia gunakan, tak dapat dipungkiri, menjadi faktor kunci.
Dan sejak sekitar setahun lalu, Arif merangkul Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Garum dengan gerakan “Ngaji Tani” dengan tujuan memperkuat gerakan konservasi hutan dengan skema perhutanan sosial.
“Kebetulan peran penyuluh agama di bidang konservasi lingkungan ini juga menjadi prioritas Bapak Menteri Agama,” ujar Arif. (asp)