BlitarRaya.com – Antropolog Akhol Firdaus meminta olok-olok terhadap kelompok abangan dihentikan. Bukan semata untuk melindungi hak warga negara, tapi juga untuk memutus mata rantai praktik memecah-belah bangsa yang telah berlangsung sejak zaman penjajahan.
“Sangat disayangkan bahwa hari-hari ini, terutama ketika perayaan 1 Suro marak di berbagai tempat, termasuk di Blitar, kelompok abangan masih rawan menjadi korban persekusi,” ujarnya saat dihubungi BlitarRaya.com melalui sambungan telepon, Sabtu (6 Juli 2024) malam.
Masyarakat yang menjalani perayaan 1 Suro dengan ritual tertentu, misalnya larung sesaji, menurut Akhol, rawan diolok-olok karena mereka dianggap sebagai abangan alias golongan yang menjalankan agama secara tidak benar.
Akhol mengingatkan bahwa olok-olok terhadap abangan bisa membahayakan keutuhan bangsa seperti yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
“Pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan olok-olok tersebut untuk memanaskan dan menajamkan lagi konflik antarkelompok yang sebelumnya telah berhasil diredam Sultan Agung,” ujar dosen filsafat Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung tersebut.
“Bersatunya” 1 Suro dan 1 Muharram
Akhol yang juga Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) itu lalu menuturkan sepenggal kisah dari masa Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam, yang memerintah pada tahun 1613-1645.
“Di tengah banyaknya gejolak yang terjadi, Sultan Agung berhasil mengupayakan rekonsiliasi antara kelompok Islam dengan kelompok Kejawen,” tuturnya.
Keberhasilan tersebut, kata Akhol, tak lepas dari langkah Sultan Agung menetapkan 1 Suro (tahun baru Jawa) bersamaan dengan 1 Muharram (tahun baru Islam).
Akhol menjelaskan, hari itu tanggal 8 Juli 1663 atau Jumat Legi tanggal 1 Suro Tahun 1555 (menurut sistem penanggalan Jawa/kalender Saka-Hindu) dan 1 Muharram Tahun 1403 H.
“Itulah momen perubahan penanggalan Jawa. Siklusnya tetap, tapi orientasinya diubah, dari hitungan Suryo Sengkolo (perputaran matahari) menjadi Condro Sengkolo (perputaran bulan).
“Penyatuan” yang menghasilkan perubahan dari Kalender Saka menjadi Kalender Jawa Islam tersebut, menurut Akhol, membuat Sultan Agung mendapatkan legitimasi yang kuat terutama untuk menghadapi kekuatan asing waktu itu.
Rekonsiliasi Sempurna
Akhol mengatakan, secara akademis, hal ini pernah dibahas Merle Calvin (MC) Ricklefs dalam bukunya, Mystic Synthesis in Java: A history of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries.
Di buku tersebut, kata Akhol, Ricklefs menyoroti proyek kebudayaan Sultan Agung sebagai rekonsiliasi yang sempurna, yang kemudian ia namakan mystic synthesis.
“Dengan konsep mystic synthesis itu, sederhananya, Ricklefs menilai bahwa Jawa dan Islam waktu itu sudah menyatu, tidak bisa dibedakan. Jadi, orang Jawa itu bersyahadat, mengakui kenabian Muhammad, menjalankan rukun Islam, sekadarnya, tapi juga tetap memuja leluhur,” jelas Akhol.
Masalah baru timbul pada masa pemerintahan Hindia Belanda dengan regulasi-regulasi dan kebijakan politik yang melemahkan sintesis tersebut.
“Misalnya regulasi yang menetapkan kuota jemaah haji bagi orang Jawa hingga 300 persen dari sebelumnya,” kata Akhol tanpa menyebut secara rinci berapa jumlah haji yang dimaksud.
Peningkatan kuota tersebut, kata Akhol, bertujuan menguatkan lagi segregasi di antara faksi-faksi umat Islam yang ada, terutama antara yang ortodoks dengan yang heterodoks.
“Dengan semakin banyaknya orang Jawa yang datang ke Arab, pemerintah kolonial Hindia Belanda berharap, mereka yang semula heterodoks berubah menjadi ortodoks. Dengan kata lain, agar rekonsiliasi yang berhasil dibangun Sultan Agung kembali melemah, sehingga melemah pula perlawanan terhadap penjajah,” terang Akhol. (mr)
Artinya kita sebagai penghayat, masih melawan penjajah?
Mobility and comfort with car rental, unlimited possibilities.
7 mistakes to avoid when renting a car, for a safe and comfortable trip