BlitarRaya.com – Dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep bersama istrinya, Erina Gudono, saat bepergian ke Amerika Serikat (AS) pada 18-21 Agustus 2024 lalu, terus bergulir.
Terbaru, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan pihaknya telah menerima dua laporan dugaan gratifikasi menyangkut putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
Laporan itu, kata Alex, sedang ditelaah oleh Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan (PLPM). “Kita tunggu saja (hasilnya),” ujarnya di Jakarta Selatan, Jumat (6 September 2024).
Sebelumnya, dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi yang biaya sewanya ditaksir mencapai Rp 8,7 miliar itu telah dilaporkan ke KPK oleh Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Laporan yang sama ke KPK juga dilakukan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.
Lalu, apa itu gratifikasi?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan gratifikasi sebagai “pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh”.
Gratifikasi juga disebut dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU tersebut, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Ihwal gratifikasi juga dijelaskan KPK dalam artikel yang diunggah di situs resminya pada 2 September 2024. Ada lima hal yang menurut KPK perlu dipahami dalam hal ini, yaitu:
Salah satu bentuk korupsi
KPK menjelaskan bahwa gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi. Penjelasan itu merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2001.
“Gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi, selain kerugian keuangan negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan,” tulis KPK,
Sembunyi-sembunyi, kadang disusupkan
Agar tidak diketahui, praktik gratifikasi ilegal biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena itu, bukti penerimaan sengaja tidak diberikan. “Atau gratifikasi tersebut diberikan melalui perantara orang kepercayaan (makelar) agar tidak diketahui orang lain,” tulis KPK.
Menurut KPK, gratifikasi terlarang kadang disusupkan pada kegiatan sosial, adat, atau agama. Misalnya sumbangan musibah, pesta perkawinan, dan hadiah ulang tahun.
Lapor atau didenda dan dipenjara
Penerima gratifikasi harus melaporkan ke KPK paling lambat 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima. Jika tidak, ia terancam denda dan penjara.
Dendanya paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan pidana penjara minimal 4 tahun dan paling lama 20 tahun atau seumur hidup.
Celah-celah gratifikasi
Banyak celah praktik gratifikasi yang bisa ditemukan dalam hubungan pekerjaan dan hubungan sosial pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat publik.
Berikut beberapa celah gratifikasi menurut KPK:
- Uang terima kasih dari masyarakat ke petugas pelayanan publik;
- Hadiah dari peserta/pemenang tender dalam pengadaan barang dan jasa;
- Uang, barang atau oleh-oleh yang diterima dari auditee dalam kegiatan audit.
- Sumbangan kedukaan dengan nominal yang tak wajar dari pihak yang memiliki konflik kepentingan;
- Hadiah yang diterima oleh keluarga/kerabat pegawai negeri/pegawai negeri sipil dari pihak yang berkonflik kepentingan.
Dalam contoh terakhir, KPK pernah menangani laporan gratifikasi dari seorang pegawai kementerian. “Anaknya mendapat sepeda dari iparnya yang merupakan seorang pengusaha yang sedang mengerjakan proyek di kantornya,” tulis artikel tersebut.
Jalur laporan
KPK berharap pejabat atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi segera melaporkan ke KPK melalui aplikasi GOL KPK atau melalui laman gol.kpk.go.id.
KPK juga membuka nomor WhatsApp (WA) 0811-145-575 untuk konsultasi pelaporan gratifikasi. (mr)