TAK pernah terpikir, mungkin, oleh Mbah Hasyim, bahwa penerus kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU ) dilanjutkan anak-cucu Tebuireng, Tambakberas, atau Denanyar. Terbukti rais syuriyah diemban mulai Mbah Hasyim, Kiai Wahab, Kiai Bisri, Kiai Ali Maksum, Kiai Ahmad Sidiq, Kiai Ali Yafi, Kiai Ilyas, Kiai Sahal, Kiai Musthofa, Kiai Amin, Kiai Mif.
Semua berasal dari berbagai pesantren, bahkan luar Pulau Jawa.
Begitu juga posisi ketua (tanfidziyah) mulai Kiai Hasan Gipo, Kiai Noer, Kiai Mahfudz Siddiq, Kiai Nahrowi, Kiai Dahlan, Kiai Wachid, Kiai Masjkur, Kiai Idham, Kiai Abdurrahman, Kiai Hasyim, Kiai Said sampai Kiai Yahya. Semua berasal dari pesantren yang berbeda-beda.
Dari muktamar ke muktamar, warga Nahdliyin menyadari bahwa NU hadir untuk semua. Dan bagi NU, semua pesantren sama. Kita merasakan indahnya demokrasi ala NU.
Meskipun, kita kenal kebanyakan pesantren bernuansa feodal, terutama, dalam hal penghormatan santri kepada kiai. Kadarnya pun sebenarnya beragam. Ada yang dalam kadar wajar-wajar saja, ada juga yang agak berlebihan. Tetapi ketika masuk ranah NU, semuanya ditinggalkan, karena dari semua untuk semua itu yang dikedepankan.
Namun di Blitar agaknya terjadi anomali.
Konferensi Cabang tingkat Kabupaten Blitar (Konfercab) medio Februari 2023 yang diikuti seluruh Ranting (kepengurusan NU tingkat desa dan kelurahan) dan MWC (kepengurusan NU tingkat kecamatan) berhasil memilih Rais Syuriyah KH Ardani Achmad dan Ketua Tanfidziyah H. Arif Fuadi. Kemudian, H Arif Fuadi dianulir secara tidak langsung (karena hingga kini Surat Persetujuan Rais terpilih kepada H Arif Fuadi masih ada, sah, dan belum dibatalkan).
Tiba-tiba ada Pemilihan Ulang (PU) ketua tanfidziyah yang dilaksanakan oleh rais terpilih yang hanya melibatkan 18 MWC. Pemilihan ulang yang berlangsung di Pondok Pesantren Al Falah, Desa Jeblog, Kecamatan Talun itu memilih Muqorrobin sebagai ketua terpilih. Sehingga wajar jika orang menyebut ketua terpilih ada 2.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sebelum terpilihnya Muqorrobin, Rais terpilih mengumpulkan MWC-MWC yang sejalan atau yang bersedia mengikuti satu agenda tertentu. Langkah itu dilakukan cukup intens dalam.satu kurun waktu yang cukup panjang dengan tujuan akhir agar memilih alumni pondok pesantren tertentu sebagai ketua tanfidziyah pada forum pemilihan ulang tersebut.
Nah. Kabupaten Blitar yang luas nan kaya SDM santri dari berbagai pesantren yang ada di seluruh penjuru Indonesia, tiba-tiba, seolah-olah menjadi miskin SDM santri serta miskin ragam pesantren. Sehingga pengumpulan-pengumpulan dan pengarahan-pengarahan itu ujungnya ke sana, yakni memilih alumni dari pondok pesantren tertentu. Walaupun PU tetap diklaim berlangsung secara demokratis.
Namun faktanya, ketua tanfidziyah hasil PU hanya dipilih oleh 18 MWC (suara). Bandingkan dengan Konfercab awal 2023 dengan pemilih berjumlah lebih dari 270 suara yang berasal dari Ranting dan MWC.
Jika ini berlanjut, akankah NU Blitar akan menjadi (maaf) feodal dalam memilih pimpinan, yang kemudian ujung-ujungnya bisa ditebak? Akankah kepemimpinannya juga akan melahirkan kepemimpinan feodal, elitis dan cenderung mengabaikan/“menindas” dalam kiprah sosial-politik, sosial-budaya dan secara tidak langsung ekonomi?
Di zaman kolonial Belanda, tanpa kekuatan militer yang besar, Belanda di Indonesia bisa berkuasa sangat lama, kenapa? Karena Belanda pandai memanfaatkan celah, bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang feodalistik, untuk menjajah dan memeras rakyat. Kerajaan-kerajaan yang melawan dipecah, lalu yang lemah dibantu sampai menang, sehingga bisa bekerja sama. Istilah kita, Belanda-nya sedikit, tetapi “Londo Ireng”-nya banyak.
Wallahu’alam bishawab. (*)
Tentang Penulis:
- Mujianto adalah Sekretaris IPNU Kabupaten Blitar periode 2000-2003.