Rabu, 19 November 2025 | 15:42 WIB
29 C
Blitar

Dilema Surat Gaib di Kemloko: Pertarungan Pelayanan Publik vs. Kepastian Hukum

WIB

PELAPORAN Kepala Desa (Kades) Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Miftakhul Choiri, oleh warganya, Anik Purwanti, sedang menjadi sorotan tajam publik. Bukan hanya terkait aspek administratifnya, tapi juga tentang pertarungan sengit antara “kewajiban menjalankan pelayanan publik” versus “prinsip kehati-hatian untuk tidak terjerat risiko hukum”.

Sebagaimana diberitakan BlitarRaya.com, Anik Purwanti melaporkan Kades Miftakhul Choiri kepada Bupati Blitar dan Ombudsman RI setelah merasa dipersulit dalam pengurusan Surat Keterangan Gaib, dokumen penting untuk gugatan harta bersama (gono-gini) di Pengadilan Agama. Namun Kades menolak dengan alasan gugatan harta yang sama sudah pernah diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Blitar dan dimenangkan oleh mantan suami Anik.

Baca: Enggan Terbitkan Surat Gaib, Kades Kemloko Blitar Dilaporkan Warganya ke Bupati 

Jaminan Pelayanan Publik

Dari sudut pandang warga dan tuntutan terhadap penyelenggaraan negara, kades memiliki kewajiban mutlak untuk melayani masyarakat, termasuk Surat Keterangan Gaib, dengan prinsip kepastian waktu dan profesionalisme yang diatur dalam Pasal 4 UU Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Menurut UU tersebut, kades sebagai penyelenggara wajib menjamin kepastian waktu dan profesionalisme. Jika semua syarat administratif (seperti pengantar RT/RW) sudah dipenuhi Anik, penundaan tanpa alasan resmi yang kuat melanggar standar pelayanan.

Karena itu, Ombudsman dapat menekan kades untuk segera memberikan kepastian hukum, baik itu menerbitkan atau menolak surat tersebut secara tertulis. Sebab, sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, penundaan berlarut tanpa adanya surat penolakan resmi dari kades dapat dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi.

Menghindari Ne Bis In Idem

Di sisi lain, Kades berpegangan pada prinsip hukum untuk menghindari masalah di kemudian hari. Kekhawatiran Kades didasarkan pada asas ne bis in idem, yang diatur dalam Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Kades khawatir, surat gaib akan digunakan untuk menggugat harta yang sama yang sudah pernah dimenangkan oleh mantan suaminya (Tahmid Wahyudi) di Pengadilan Negeri Blitar dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). 

Padahal, jika gugatan diajukan ke Pengadilan Agama (PA) dengan objek, subjek, dan dasar yang sama, hakim PA dapat menolak gugatan tersebut dan kades bisa dihadapkan pada protes atau bahkan tuntutan hukum.

Itulah sebabnya Kades Miftahul menyatakan perlu berkonsultasi dulu dengan ahli hukum. “Kalau tidak ada persoalan buat saya, apa susahnya membantu warga saya sendiri,” ujarnya.

Kejelasan dan Koordinasi Hukum

Jalan keluar dari dilema ini sembari tetap berpedoman pada regulasi adalah memberikan kejelasan tertulis kepada Anik.

Karena itu, Kades Miftahul diharapkan segera menyelesaikan proses konsultasi hukumnya. Jika hasil konsultasi menguatkan adanya risiko ne bis in idem, ia wajib mengeluarkan surat penolakan resmi kepada Anik yang mencantumkan dasar hukum penolakan merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Blitar sebelumnya.

Dengan demikian, Anik tidak lagi menjadi korban ketidakjelasan (penundaan berlarut) dan memiliki dasar hukum baru jika ingin mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas penolakan kades, atau mencari alternatif hukum lain untuk perkara hartanya.

Kasus ini menegaskan bahwa kades tidak hanya harus cepat melayani, tetapi juga wajib memiliki pemahaman hukum yang kuat agar tidak terperangkap antara maladministrasi di satu sisi, dan pelanggaran asas kepastian hukum di sisi lain. (tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Opini sebelumnya

Terbaru di BlitarRaya.com