PEMILIHAN Ulang (PU) Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Blitar, sebagai tindak lanjut dari Surat PBNU nomor 1677/PB.03/A.I.03.44/99/03/2024 tertanggal 22 Maret 2024, perihal Pemilihan Ulang Ketua PCNU Kabupaten Blitar, “konon”, sudah dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Falah Desa Jeblog, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar beberapa waktu lalu.
Dibilang “konon” karena PU ini tidak di-publish, tidak terbuka untuk umum, tidak ada korespondensi (surat-menyurat dengan peserta) layaknya Konfercab NU sebelum-sebelumnya, dan tanpa surat undangan resmi.
Dimulai dari pooling MWC NU yang pro PU dan yang kontra PU, didapati 2 MWC NU yang habis masa baktinya, 2 MWC NU yang menolak PU, sehingga yang diundang hanya yang pro PU, yaitu diikuti oleh 18 MWC NU.
Dari 18 suara MWC NU, 16 memilih Muqorrobin, 1 memilih Ust. Joko, dan 1 abstain (bermasalah?)
Tidak diketahui, memakai dasar apa, dalam arahannya “konon” pula PBNU dan PWNU Jawa Timur hanya merekomendasikan bahwa peserta yang punya hak pilih dalam PU “hanya” Ketua MWC NU, tidak melibatkan Ketua Ranting NU.
Saat ini (lagi-lagi) “konon” draft Pengurus NU Cabang Blitar sudah dikirim ke PBNU untuk pengesahan dan pelantikan, meski kabarnya Tim Formatur tidak bulat menyetujuinya.
Warga NU Blitar
Warga NU Kabupaten Blitar kebanyakan tidak mengetahui adanya Pemilihan Ulang (PU) yang terbatas tersebut, termasuk sebagian besar Pengurus Ranting NU. Kalau ditanya tentang PU, maka jadi balik bertanya, apa itu PU, kenapa ada PU, dan kenapa tidak melibatkan Ranting seperti layaknya Konfercab NU Kabupaten Blitar yang sudah 18 kali dilakukan. Bahasa mereka “sudah turun-temurun”, berlangsung meriah, hingar bingar, penuh kegembiraan, selalu di nanti-nanti. Sementara masalah kandidat rais syuriyah maupun ketua tanfidziah tidak menjadi pembicaraan yang terlalu urgen.
Bagi mereka, Konfercab merupakan ajang silaturrahmi besar se-kabupaten, event 5 tahunan, saling rindu antar pengurus, antar masyayikh. Bisa berkumpul selama 2 hari di satu tempat, bisa tukar pengalaman hingga pekerjaan, serta ajang meneguhkan kembali niat juang untuk kemuliaan dan kebesaran NU.
Tidak bisa ditebak
Apabila nanti benar-benar SK Kepengurusan PCNU Kabupaten Blitar diterbitkan oleh PBNU, beberapa kemungkinan sikap warga NU bisa saja terjadi, antara lain:
1. Warga NU bisa menerima apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena itu merupakan kebijakan dari PBNU.
2. Warga NU bisa menolak, karena selain mekanisme pemilihan tidak seperti yang mereka pahami dan lakukan selama ini, juga yang terpilih bukan orang yang dahulu pernah mereka pilih.
Untuk sekadar mengingatkan, bahwa kandidat yang dipilih saat pemilihan Ketua Tanfidziyah adalah H. Arif Fuadi, H. Arif Faizin, KH. Masdain Rifai, KH. Agus Muadzin, Masduki, dan Habib Junaidi.
Konsekuensi menerima/menolak
Model komunikasi dalam organisasi NU adalah formal, kultural dan personal:
Formal
Komunikasi NU secara formal dalam bentuk administrasi organisasi dan surat-menyurat antar lembaga, banom, dan hirarkis (dari atas kebawah dan sebaliknya).
Dalam konteks ini, meski belum saling kenal, mungkin bisa saja berjalan “normal” meski ada yang tidak sejalan/dijalankan sehubungan dengan program-program PCNU baru.
Dengan demikian efektivitas administrasi menjadi kurang optimal dalam menggerakkan roda organisasi.
Kultural
Sebenarnya “ruh” dari komunikasi dalam organisasi NU adalah komunikasi kultural, karena NU dibangun dalam kurun panjang, dengan kultur yang terbentuk sejak lama, sehingga sebenarnya, tanpa menggunakan “hierarchy” kepengurusan pun, banyak kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan dan budaya warga Nahdliyin bisa berjalan dengan baik.
Apalagi di desa-desa, sudah jamak kegiatan-kegiatan yang menjadi tradisi orang NU, semacam yasinan, tahlilan, dziba’an, lailatul ijtima’, sholawatan, hadroh, khataman Al-Qur’an, pengajian dan lainnya. Semua itu berjalan tanpa instruksi dari atas pun hal ini sudah biasa dijalankan.
Personal
Pola komunikasi model NU juga ditandai dengan hubungan personal (saling mengenal) antara mereka, baik horisontal (sesama pengurus satu level) maupun vertikal (sesama pengurus di tingkatan berbeda)
Dengan demikian, seringkali pola hubungan personal sangat membantu kinerja organisasi, karena kinerja NU berbasis perjuangan lillahita’ala, bukan honor bukan bayaran.
Implikasi
Dari pola komunikasi yg sudah melekat dalam budaya NU, maka akankah efektivitas peran dan kinerja Ketua baru dapat diterima oleh sebagian besar warga Nahdliyin, yang mayoritas belum mengenal secara personal Ketua yang baru ini, apalagi “turba” (Turun ke Bawah) merupakan “tradisi wajib” bagi Ketua NU, untuk menyapa, untuk hadir, dan untuk diundang, untuk sosialisasi program, baik secara hirarkis MWC dan Ranting, maupun Banomnya.
Seperti kita ketahui, bahwa Ketua hasil PU, sebelumnya belum pernah berkiprah di level Cabang. Implikasinya, meski kapasitas keilmuannya mungkin sudah dianggap memadai, tetapi “jam terbang” dalam mengelola dan mengolah organisasi se-level kabupaten, dengan segala kemajemukannya, masih banyak yang meragukan kapabilitasnya.
Apalagi orang NU dikenal dengan SDM “bainas sama’ was sumur“, rentang pengetahuan dan pengalamannya sangat lebar, dan belum lagi dengan apa yang disebut “jajaran” samping, yaitu lembaga/ badan/organisasi tingkat Kabupaten, seperti Bupati, Ketua DPRD, Komandan Kodim, Kapolres, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, Kepala Kemenag, Muhammadiyah, MUI dan lainnya. Ini memerlukan fleksibilitas sekaligus kapasitas yang mumpuni.
Kalau tidak bisa tampil secara “pantas”, bisa jadi akan mempermalukan NU secara organisasi.
Bagaimanapun juga, ketua baru “hanya” dipilih oleh 16 suara, sementara Ketua hasil Konfercab dipilih oleh 150 suara, dan diikuti oleh lebih dari 270 peserta yang memiliki hak pilih.
Kenyataan ini tidak bisa diabaikan begitu saja di lapangan nanti. Sebab, bagi mereka yang tidak merasa memilih, bisa saja cenderung mengabaikan ketua yang baru tersebut.
Apakah ketua yang baru, nanti bisa diterima atau tidak, disambut dengan tangan terbuka atau tidak, program-programnya dijalankan atau tidak, oleh warga Nahdliyin, semuanya tergantung bagaimana performance ketua baru, di tengah kecenderungan apatisme dan pesimisme warga Nahdliyin. (*)
Tentang Penulis:
Mujianto adalah Sekretaris IPNU Kabupaten Blitar periode 2000-2003.