Kamis, 21 November 2024 | 16:06 WIB
32.2 C
Blitar

Mentransendensi Sejarah Peristiwa 30 September 1965

WIB

PERISTIWA 30 September 1965 sampai kini menjadi bayang-bayang gelap dalam sejarah Indonesia. Sejarah kelam ini masih menghantui dan meninggalkan luka sejarah, luka psikologis, luka politis, luka budaya, juga trauma yang sulit tersembuhkan. Ini bagai hantu yang menakutkan.

Entah sudah berapa banyak seminar, tulisan, monografi, laporan, penelitian lapangan, dan buku yang mencoba menjelaskan peristiwa tersebut. Tapi agaknya belum ada gambaran yang jelas dan terang atas peristiwa yang mengenaskan itu. Kita belum sepakat dalam memahami apa dan bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi. 

Peristiwa 30 September 1965 adalah “kecelakaan sejarah” yang kompleks, canggih dan rumit. Ini muncul dari benturan ideologi, efek geopolitik perang dingin, kepentingan ekonomi, dan belum kuatnya kita sebagai bangsa dalam membangun negara kebangsaan.

Mengapa kita tidak bisa berdamai dalam memandang peristiwa 30 September 1965 setelah puluhan tahun berlalu? Peristiwa 30 September 1965 adalah sejarah kontemporer (contemporary history) di mana para pelaku dan korban dalam peristiwa ini masih hidup, sehingga sulit memandang peristiwa tersebut dengan jernih dan objektif. 

Masing-masing individu yang terlibat dan korban memandangnya dari sudut pandang masing-masing, yang tentu saja benar menurut yang bersangkutan. (Lihatlah: pihak Islam membela agamanya, klaim TNI AD yang membela negara, pihak kiri PKI merasa menjadi korban karena pembunuhan massal yang mengerikan). 

Sejarah kontemporer ini masih meninggalkan jejak dan mempengaruhi kehidupan berbangsa hingga kini.

Apa Selanjutnya?

Memandang peristiwa 30 September 1965 tidak bisa dari satu sisi, karena peristiwa ini rumit seperti benang kusut yang sulit diurai atau lingkaran setan yang gelap. Tidak bisa hitam putih atau benar salah. Sebab, dalam peristiwa ini terjadi tumpang-tindih dan berkelindan antara berbagai kepentingan dari berbagai golongan dengan agendanya masing-masing. Jadinya, peristiwa 30 September 1965 masih merupakan misteri dan abu-abu.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa kita lakukan? Tentu tidak ada jawaban yang melegakan bagi semuanya. Tiap individu akan memiliki apologi dan alasan sendiri. 

Setelah mencoba berefleksi atas peristiwa 30 September 1965, rasanya kita perlu mentransendensi dalam memandang peristiwa tersebut. Apa maksudnya? 

Transendensi adalah menarik jarak, laiknya kita naik ke atas untuk melihat peristiwa di bawah dengan utuh, jelas, dari sudut tinjauan baru yang lebih jujur dan terbuka.

Dalam konteks peristiwa 30 September 1965, kita perlu memandang ulang latar belakang apa dan bagaimana terjadinya peristiwa  tersebut. Sejarah perlu ditulis ulang dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. 

Bisa dipahami dalam menulis sejarah kelam sulit tercapai kebenaran objektif seratus persen, tapi setidaknya bisa mendekati apa yang menjadi harapan kita bersama. Di sini peran pakar sejarah diperlukan.

Untuk menulis sejarah tersebut, perlu dialog yang terbuka dan jujur, dilandasi kemauan baik untuk kemaslahatan bersama. Tak terhitung data yang tertulis, wawancara, dan sumber lainnya yang tersedia, ini menjadi dasar untuk rekonstruksi ulang penulisan sejarah peristiwa 30 September 1965. 

Intinya kita melihat masa lalu peristiwa 30 September 1965 dari tinjauan masa kini. Dari sini kita ambil pelajaran moral peristiwa 30 September 1965: politik zero game (habis-habisan) bisa merontokkan bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang susah payah kita bangun.

Seusai sejarah peristiwa 30 September 1965 ditulis ulang, kita perlu menata kembali demokrasi dalam berpolitik. Kita ciptakan kesepakatan etika politik bersama untuk tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Tak kalah penting, kita sebagai warga negara sekaligus sebagai bangsa perlu keberanian berdamai dengan memaafkan peristiwa 30 September 1965. Ini adalah kelengahan dan kesalahan kita dalam berpolitik. Demokrasi perlu kesegaran untuk menampung kepentingan semua. Dengan modal sosial dan modal budaya, kita optimistis demokrasi dapat terbangun dengan rapi dan beretika.

Sebenarnya kondisi kini, meskipun tidak bagus amat, kita melihat anak-anak keturunan PKI sudah bebas menjadi warga negara, bahkan bisa diterima menjadi anggota ASN, DPR juga TNI. Ini mode rekonsiliasi antaranak bangsa yang perlu ditingkatkan menjadi kerja sama di masa depan

Ada catatan penting untuk generasi milenial dan gen Z. Penting bagi mereka untuk mengambil pelajaran moral dari peristiwa 30 September 1965. Peristiwa ini jangan sampai terulang.

Dengan semangat muda yang menyala, tidak berlebihan berharap supaya generasi milenial dan gen Z punya kesadaran sejarah yang kuat, tanpa sikap romantis ataupun terbelenggu sejarah, untuk membangun sejarah masa depan Indonesia yang cerdas, adil, makmur, dan bermartabat. (*)

Tentang Penulis:

  • Harnang Widodo adalah peminat budaya dan penulis lepas.

Jangan Lewatkan

Populer